Mohon tunggu...
Billy Fannan
Billy Fannan Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pria lulusan Desain Komunikasi Visual dari Universitas Trisakti ini menyukai menulis. Selain hobi lainnya yang tentunya berhubungan dengan seni. Baginya menulis adalah sebuah pengalaman untuk mengeksplorasi lebih kata kata. Dan berimajinasi dengan cara yang unik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tetesan Madu Badui si Samin

10 Maret 2014   22:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:05 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Langkahnya pasti, menyusuri ramainya manusia, seakan tidak peduli ia tampak yakin dan percaya apa yang dikerjakannya. Diantara banyaknya pengunjung dia tampak sangat berbeda, menyusuri berbagai lapak dan aneka barang, terkadang ia berhenti dan menyodorkan botol berisi air hitam yang ia bawa. Sesekali ada yang tertarik dan berhenti, serta bertanya-tanya. Tak jarang juga beberapa lembar uang tertukar dengan botol botol yang ia bawa. Baju hitam-hitam, sorban di kepala, rambutnya yang tidak tersisir, ditambah ia berjalan tanpa mengenakan alas kaki. Mungkin yang membuatku tertarik adalah tas yang ia gunakan, ia gunakan tas jaring yang terbuat dari akar.

Sekilas itulah yang kutangkap dari seorang Samin. Samin adalah nama dari seorang laki laki 45 tahun suku Badui Luar. Sebenarnya sudah lama aku mengenal sosok ini, namun minggu kemarin aku beranikan diri untuk bertanya dan berbincang lebih jauh. Ya, setiap hari minggu pagi dari pukul 5 pagi aku dan istriku berjualan di pasar kaget STEKPI kalibata sampai siang hari. Pasar kaget ini berada di depan kampus Universitas Trilogi yang dahulu dikenal dengan nama STEKPI. Dan sering kutemui sosok diatas, namun belum pernah aku membelanjakan uangku untuk barang yang dibawa oleh Samin.

Lelaki Badui ini hanya seminggu sekali ada di pasar kaget STEKPI Kalibata. Terkadang di beberapa minggu ia tidak terlihat di sini untuk berjualan madu botolan yang ia bawa.

“Apa ini?”, tanyaku kepadanya. “Madu,” jawabnya sepatah kata. Memang berkomunikasi dengannya agak sulit, karena Samin sangat hemat dalam berbicara. Ia hanya berbicara ketika ditanya, sembari menghisap rokok kreteknya. Raut mukanya lugas, dan bagiku tak ada keraguan untukku bahwa ia akan berbohong. Ia cukup murah senyum sebenarnya, namun mungkin karena sosoknya yang berbeda sehingga banyak orang ragu untuk mendekat.

Samin terkadang membawa putranya yang berumur 17 tahun bersamanya. Penampilan sang anak tak berbeda jauh dengannya, sama seperti Suku Badui yang kita pernah tau, pakaian yang sama warna, sorban dikepala dan juga tas dari akar. Bedanya sang anak lebih bongsor dan lebih besar dari sang ayah. Menurut pengakuannya, samin mempunyai 3 orang anak. Anak keduanya perempuan berumur 12 tahun dan terakhir umur 8 tahun juga seorang perempuan.

Aku bertanya-tanya bagaimana bisa seorang laki-laki Badui Luar ikut serta berdagang di pasar kaget di kota besar seperti Jakarta ini. “Naik kereta,” ujar Samin singkat. Jalur yang ia pilih melalui kereta Tanah Abang kemudian menuju ke Rangkas Bitung yang dilanjutkan menggunakan kendaraan umum, sisanya Samin berjalan kaki. “Berapa lama sampai kesini?”, tanyaku kepada samin. Ia kemudian menjawab, “Satu hari”. “Berapa biaya habis untuk diperjalanan?” kembali aku bertanya kepada Samin. “100 ribu rupiah, pulang pergi”, ujarnya hemat. “Belum sama makan dan minum,” Samin menambahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun