Puisi, kerap diidentikkan dengan jiwa yang ringkas dari penulisnya. Larik-larik: kata-kata, kalimat, ujungnya sering sebuah perenungan penggubahnya. Dan itu, bisa pula sebuah pernyataan hati. Tentang apa saja, terlebih bila ia berusaha untuk menghadap ke Atas atas tarikan ketika baris-baris kata yang disusun untukNya sedekat-dekatnya membuncah.
Himpunan puisi dalam tajuk “Engkaulah Belahan”, hendak menuju dan diniatkan penyairnya kepada Yang. Mencoba mendekatkan, tersebab kekecilan dan kekerdilan dirinya. Jika sesungguhnya, itu sebuah upaya. Untuk sebuah pengakuan bisa panjang atas perenungan dan sekilas ketika “hidayah” itu terucap. Dan kemudian dituangkan. Semisal pada kuplet keempat PadamkanPijaran:
taklukan kerasnya karang
dengan hati penuh kelembutan
padamkan pijar api yang memuncak
dengan sikap bijak penuh kesadaran
Syantrie Aliefya, mencari diri dan mencoba mendekatkan diri dalam puisi-puisinya yang terbilang rata, tak begitu panjang bahasa puitiknya dan teks-teks yang dituangkan. Dengan rima yang terjaga, meski dengan daya ucap “lama”. Dan mudah untuk memahami apa yang tersurat dan tersirat. Kendati tetap menggunakan bahasa sastra, sebisanya. Ada bahasa yang ditarik dari Kitabullah yang diyakininya, yang jauh dari puisi-puisi yang digubahnya. Bukan sebuah perbandingan, tentu.
Kesadaran penuh sebagai seorang hamba Sang Khaliq dan kerinduan akan junjungannya, terbaca dengan jelas pada puisi yang dijadikan judul antologi ini: Engkaulah Belahan.
Engkaulah Belahan
Pemberi abadi keteladanan
Tak pernah bosan mengajarkan