Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(RTC) Pertemuan Dua Hati di Pantai Pandeglang

16 Januari 2019   23:13 Diperbarui: 16 Januari 2019   23:39 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Iis duduk termangu. Di hadapannya terbentang pemandangan yang tak pernah dilihat sebelumnya. Serpihan kayu, tak beraturan. Genteng berserak, hingga mobil hinggap di pohon. Di belakangnya sana laut membiru, masih segaris lurus. Tenang pada pagi itu, tanpa angin.

"Makan dulu, Is. Nanti sakit...."

Suara itu biasanya membuatnya jenggelek, bersijingkat berdiri. Dan segera masuk ke ruang dalam. Tapi bagaimana ia melakukan hal biasa dari suara Ibu yang memintanya mengisi perut yang benar kosong?

"Nanti saja ...."

Elusan di pundak, membuat gadis berambut kepang itu menoleh. Lalu ia mengangguk pelan.

"Ada mie yang Emak masak."


"Mie?"

"Ya, kamu suka itu kan?"

Mestinya ia lebih bersemangat. Namun tetap ia berdiri dan ingin mengisi perut kosongnya yang dalam beberapa jam memang tak berisi. Ia masih saja belum mengerti apa yang terjadi, dan apa yang dilihat di hadapannya. Tepat di belakangnya rumah yang ambruk.

"Yang banyak, ya?"

Iis mengangguk. Dan pelan-pelan, ia memasukkan sulur-sulur kuning ke mulutnya. Ditambah kuah yang seperti biasa kalau ia makan mie instan. Bukan mie kuah buatan emaknya. Yang laris dijual pada hari-hari biasa di sekitar pantai yang telah diambruki kayu, genteng, kain, sabut kelapa, dan pohon serta mobil yang menggelantung. Bak sebuah lukisan asal-asalan. Tak beraturan.

"Kita tunggu Ayah."

"Ya, kita tunggu Ayah, Mak." Iis masih mengudap tanpa gairah mie seduhan Emak.

Pagi itu demikian sunyi. Menunggu ayah pulang dari bekerja di Malaysia, lebih membuatnya semakin sunyi hati Iis.

Tak ada yang bisa dikerjakan Iis. Sama seperti yang lain. Ingatannya akan kejadian semalam. Ketika sedang menonton tivi dan datang gemuruh air. Dan selanjutnya tak diketahui. 

Hingga ia dan emak melewatkan malam dengan dingin mencekam. Di bukit untuk mengikuti seruan orang-orang yang tak dimengerti baginya yang sudah kelas satu SMP. Tak ada pelajaran yang pernah dipelajarinya. Kecuali kepanikan, dan hanya berlari dan berlari ke tempat yang lebih tinggi.

"Tsunami itu apa sih, Is?" tanya emak sambil duduk di samping anaknya yang telah menghabiskan semangkuk plastik mie instan.

Iis menelan ludah.

"Kalau nggak tau, ya sudah. Emak hanya bingung...."

Iis mengelus punggung tangan emak yang gosong oleh sengat matahari dan seperti kebanyakan orang pantai. Ditambah kesehariannya berjualan mie dan makanan murah untuk mereka yang datang ke warung seadanya. Jika hari-hari biasa, orang-orang yang bekerja di sekitar pantai Labuan. Kadang, sesekali orang berpakaian bagus orang kota. Dengan bahasa yang berbeda dengan orang-orang sekitar pantai indah saat senja datang.

"Ini semua tujuh ribu, Dik?" tanya wanita sebaya saat mengacungkan uang lembaran sepuluh ribu.

"Ya, Kak."

"Nggak ... ?"

"Maaf. Kemahalan ya, Kak."

Anak itu tersenyum. Ada suara tawanya, malah.

"Justru kemurahan, Dik."

Iis yang melayani pembeli itu, mencoba mencari tahu emaknya. Yang sedang pulang tak jauh dari tempat jualannya, sehingga ia menungguinya.

"Oh, tidak, Kak."

"Memang segitu?"

"Memang segitu," Iis mengulang.

Iis jadi meladeni percakapan tidak biasa. Ia yang sesekali menunggu dagangan emak kalau sehabis pulang sekolah, seperti menemukan teman baru. Walau jauh. Karena Kak Prapti tinggal di Jakarta.

"Kamu membawa-bawa buku."

"Iya, kenapa?"

"Suka baca?"

Iis tersenyum, dan mengangguk kecil.

"Apa yang kaubaca, Is?"

Iis memejamkan mata. Mengingat-ingat.

"Buku cerita?"

"Buku cerita, ya."

"Sejarah ...."

"Kisah orang-orang yang menginspirasi."

"Oya?"

Iis mengangguk.

"Siapa misalnya?"

"Nelson Mandela!" sahutnya cepat.

"Trus?"

"Kyai ....."

Teman barunya itu mengernyitkan kening. Karena tak mengenalinya. "Siapa itu?"

"Tokoh Banten, dari Pandeglang sini. Abuya Dimyati."

Prapti mengangguk-angguk.

"Apa hebatnya tokoh itu?"

Iis dengan lancar menyebutkan kyai yang sama tidak dikenal Prapti teman barunya. "Dia hebat, Kak Prap."

"Melawan penjajah dan mendirikan masjid?"

"Tak jauh dari sini. Paling sepuluh menit kalau Kak Prapti ke sana dengan mobil."

***

Iis duduk mencangkung saat lembayung senja belum genap. Ia menunggui dagangan emak tanpa mengeluh. Meski besok, Senin dan beberapa hari lagi ia akan sekolah. Dan ia tak punya bekal untuk pergi ke sekolah. Buku, dan apalagi tas. Semua diterjang air laut yang tiba-tiba datang menggulung.

"Iis ...."

Gadis itu menoleh. Dilihatnya sesesok lebih besar dari dirinya berlari dan membentangkan tangannya. Dengan suara tercekat.

"Kak Praptiiii ...," desis Iis saat ia dipeluk si pemanggil itu.

Lama keduanya berpelukan. Lama keduanya menangis.

"Kau tidak apa-apa?"

Iis sulit menjawab.

"Ya, aku ngerti. Aku ngertiiiii...."

Kembali keduanya berpelukan. Lama.

"Eh, aku bawakan ini khusus untukmu, Is."

Iis menerima bungkusan rapi.

"Buka, deh."

Gadis itu mengelap sekitar kelopak matanya. Pelan-pelan, ia menyobek pembungkusnya. Lalu ditariknya di bagian tas. Sebuah buku.

"Abuya Dimyati dari Pandeglang sini. Yang kauceritakan. Dan aku sudah membacanya." Prapti tersenyum. "Sengaja saya copykan untukmu."

"Kak Prapti dapat dari?"

"Ya, dari Belanda. Waktu liburan kemarin, saat melihat tsunami di sini dan sekitarnya dari berita di online."

Iis memeluk buku yang hanya copy-an itu. Buku yang isinya sama seperti yang ia baca, dan entah apa masih tersimpan baik di masjid di Labuan tak jauh dari rumahnya.

Pertemuan dua hati anak-anak disaksikan ibu masing-masing. Ibu Prapti dari dalam mobil yang menahan tangis. Dan emak Iis yang pernah diceritai anaknya yang menjual mie instan dengan harga seperti pesannya. Tidak dimahalkan. Meski  kepada orang baru atau orang kota yang datang dan membeli dagangannya. Di pantai indah yang hari-hari itu masih sepi dan masih belum bersih.

"Persahabatanmu dengan teman barumu itu lebih berharga Iis. Daripada duka apa yang menimpa kita," bisik Emak.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun