Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ke Sebelas Januari

6 Januari 2019   07:48 Diperbarui: 6 Januari 2019   08:21 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita Minggu Pagi 89

Tak terlalu sulit mengeja hari-hari tanpa hujan di awal tahun pada Minggu pagi ini. Embun masih terasa, datang bersama angin pagi. Dirasakan olehku saat menuju parkir motor, akan pulang dari salat Subuh. Dilanjutkan dengan tausyiah oleh Ustaz Kamaluddin hingga matahari menerangi tanah di sekitar masjid.  

Kuelap jok warna hitam pekat yang basah. Kustater mesin motor, dan kudiamkan untuk beberapa saat.

"Assalamualaikum ... Bang."

Kusahut dengan senyum, dan salam itu. Dan menugguinya berlalu lebih dulu. "Waalaikum salam. Silakan, Pak Son."

Ia berlalu, dan saya pun menunggu ia melewati pintu gerbang masjid. Pelan-pelan kujalankan motor, sambil sesekali membenahi sarung yang menyerimpet di bagian depan motor.

Aku tidak pulang, dan menuju warung Mpok Ani. Warung yang menyajikan masakan pagi: lontong sayur, nasi uduk dan semur tahu plus jengkol yang tak perah kupesan. Aku orang Jawa ya tidak menyukaiya. Buka soal bau setelahnya. Biasanya, memesan lontong setengah porsi dan disiram kuah sayur. Plus sepotong tahu berwarna kecokelatan.

"Sambal, Bang?" tanya Mpok Ani.

"Sedikit."

"Biasaya ...."

Aku tersenyum. "Ini nggak biasa. Hidup sedang pahit, Mpok."

Dia tertawa. "Justru itu perlu disambeli."

"Oya?"

"Biar ada semagat. Masa setelah dua .... eh bener setelah almarhumah meniggal dua bulan lebih ya Bang?"

Aku megangguk.

"Udah boleh kok ngelirik-lirik...."

Aku garuk-garuk kepala.

"Yang gadis, juga bisa didapet Abang."

Aku terseyum.

"Kalau itu, boleh, deh...." ujarku sekenanya. Meladeni candaan khas wanita pinggiran Jakarta itu yang sudah kukenal cukup lama.

Ia menjentikkan jemarinya. Sambil setengah berbisik, "Ssst ... si Romle, tuh."

"Bukannya ...."

"Ya, jande kembang kan nggak beda dengan gadis."

Menyelesaikan sarapan hingga matahari meninggi, dan kemudian pulang. Kuambil koran yang menggeletak di garasi. Motor kudiamkan begitu saja. Membaca perkembangan perang hoax atau apalah. Nggak ngerti kenapa begitu antusias mereka untuk menang dalam pemilu yang sebentar lagi. Termasuk memilih orang nomor satu negeri ini.  Padahal, tadi Ustad Kamaluddin berpesan. Mulai mengurangi keduniawian dan menambahi bekal ukhrowi.

"Apalagi bagi seorang duda yang tak lagi muda," desisku.

Aku masih membaca barisan kata higga sampai ke titik penyayi yang akan konser pada Sebelas Januari. Tentang cinta sang peyanyi band itu dengan istrinya yag peyanyi juga, dengan mereka menorehkan khas orang seni suara. Duet.

"Assalamualaikum, Bang ...."

Spontan, aku mejawab salam itu. Namun langsung mengernyitkan kening. Demi melihat Mpok Ani menggandeng Romlah.

"Maaf, ngganggu, Bang Tam." Lalu Mpok Ani mengutarakan maksudnya. Kalau Romlah minta tolong untuk dibikinkan surat pengantar. Kalau Romlah akan bekerja ke luar negeri. Ke Malaysia.

"Apa bener niatnya kerja ke sana, Rom?" tanyaku.

Wanita berjilbab itu menundunkkan kepala.

"Ya...."

"Karena di sini ngggak ade yang mau. Daripade nggak ada kerjaan, Pak RT," sela Mpok Ani.

Aku garuk-garuk kepala.

"Ya, Bang, eh Pak RT," desis Romlah, masih dengan menundukkan kepala.

Persoalan izin itu, segera kuberikan. Itu hak dia untuk menentukan nasibnya. Dengan caranya.  Meski setelah mereka pergi, aku mikir. Romlah akan pergi ke luar negeri. Bekerja. Aku? Menunggu untuk menonton konser Sebelas Januari.

"Lotong sayur setengah, dan pake tahu sama sambal, Bang?" sapa Mpok Ani, esokya aku sarapan ke warugnya di bawah pohon nangka yang rindang.

"Ya. Tapi bayarya ...ntar. Duitnye belon diambil."

"Ke ATM?"'

"Ya."

Mpok Ani mengibaskan tangan. Seperti ingin mengatakan: ah, gampang itu. Ia tidak seperti orang pada umumnya. Jika dagangan pagi-pagi jangan dihutang dulu. Bisa membuat rejeki seret.

"Gimana dengan Romlah?" tanyaku pelan. Mengudap pelan-pelan lontong yang diirisi cukup untuk dikunyah memasuki mulut.

"Nah."

"Apa?"

"Dia gagalin diri."

"Kok?" aku mengernyitkan kening.

Lalu Mpok Ani meceritakan. Setelah Romlah berkonsultasi dengan Ustad Kamaluddin.

"Kagak diizinin."

"Alasannya?" tanyaku cepat.

Mpok Ani tersenyum ke arahku. Setengah menggoda.

"Ustad Kamal akan mencarikan jodohnya," ia segera memberitahukan.

Aku melongo.

"Dia kan masih keponakan Pak Kamal."

Aku manggut-manggut. Sebagai Ketua RT, aku tahu. Hubungan antara mereka berdua. Namun aku penasaran, hedak dijodohkan dengan siapa Romlah?

"Nanti siang, kata Romle Pak Kamal mau ke rumah Abang."

Hah!

***

*Sebelas Januari lagunya Gigi   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun