Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Jonggol Kutemukan Perempuan Sendu

23 September 2018   06:05 Diperbarui: 23 September 2018   06:37 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. RM Ampera Bandung 3

Cerita Minggu Pagi 84

Bergegas aku meloncat. Clingkrek. Duduklah di bus tiga perempat. Ber-AC. Kusandarkan kepala, menenangkan diri. Jakarta kelewat ribet pada hari-hari kerja yang bukan menjadi milikku. Karena aku orang bukan kantoran alias orang yang bisa seenaknya dan kerap bekerja kelewat-lewat waktu. Hingga badan ringsek.

"Jadi ke Jonggol, kan Pak?" pertanyaan yang mengandung permintaan. Ya, aku akan mengantarkan buku pesanannya. Buku tentang kisah-kisahnya sebagai seorang pendidik. Yang dituangkan sebagai sebuah kisah yang kadang berlarat-larat. Cinta, dan segala bentuk rindu serta remuknya hati.

Jalan berkelok, dan sesungguhnya bukan jalan yang biasa kurambah. Jonggol, sebuah negara pernah akan didirikan di situ. Di mana anak-anak pemimpin tak ubahnya seorang menteri yang mendapat fasilitas secara full. Termasuk, bila menginginkan dalam sekali ucap orang yang mendampingi semalaman untuk ditidurinya.

Aku tidak dan jauh dalam angan semacam itu. Namun aku merambah ke kawasan itu. Hanya untuk mengantar catatan penting tentang bagian literasi yang ambruk di negeri ini. Hendak bangkit, dan tak kunjung berdiri. Terus tertatih-tatih. Persis putera mahkota yang tak pernah belajar dalam arti sesungguhnya. Hanya menikmati fasilitas. Tanpa batas. Namanya bisa Tom, Hardy, Tutik,  dan apa saja yang berbau wangi. Klan yang sesungguhnya bisa dari kaum cecunguk.

"Sebentar lagi, setelah di resto saung gaya Sunda itu, sampai Pak," WA masuk, setelah aku mengabari sedang rehat bersama rombongan bus umum kecil.

Aku mengacungkan jempol emoticon.

Aku melanjutkan mengudap nasi putih, sambal, lalap dan ikan darat digoreng kering. Angin menambah selera makan yang memang terlambat, seperti salat Zuhur di mana matahari tergelincir lebih.

"Dari sini berapa lama lagi, Teh?" tanya saya ketika seorang wanita muda menyodorkan bon dari guntingan bekas rokok yang dibalik. Ada angka lima belas ribu rupiah untuk satu porsi makanan enak siang itu. Setelah diguncang-guncang perjalanan menembus bukit tak seindah perjalanan jika melewati kawasan Puncak. Ah, ini ke Jonggol.

"Kurang dari setengah jam."

Kurang dari setengah jam bus kami beristirahat. Namun hari bukan akhir pekan itu, di mana penumpang bis hanya berjumlah delapan belas membuat lebih lama. Dan ini kunikmati saja. Membiarkan kekek bus dan sopir duduk di lincak sambil membuka kancing bagian atas. Menikmati angin siang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun