Mohon tunggu...
Thaba Pamungkas
Thaba Pamungkas Mohon Tunggu... Mahasiswa/Penulis

Menulis adalah ruang berekspresi sekaligus laboratorium pemikiran. Dan saya bukan hanya sebatas tertarik, namun juga mendalami dan mengeksplorasi tema-tema filsafat, budaya, serta fenomena sosial yang membentuk kehidupan kita sehari-hari. Di Kompasiana, saya ingin menghadirkan tulisan yang tidak hanya informatif, tetapi juga mengundang pembaca untuk merenung lebih dalam.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pancasila sebagai Refleksi Diri

24 September 2025   23:40 Diperbarui: 24 September 2025   23:40 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lambang Garuda & Pancasila (Sumber: Kumparan.com)

PANCASILA:
SEBAGAI FILOSOFI HIDUP DAN REFLEKSI DIRI

September 24, 2025 by Thaba Pamungkas

Pancasila sebagai Filosofi Hidup dan Refleksi Diri

Berabad-abad perjalanan sejarah bangsa ini selalu menyingkap pertanyaan yang sama, 

"apa yang sebenarnya membuat kita tetap utuh sebagai satu bangsa?" Di tengah riuhnya keberagaman, suku, agama, ras, hingga golongan yang berbeda. Ditambah derasnya arus globalisasi, kecanggihan teknologi, dan perubahan sosial yang seakan tak mengenal jeda kita terus kembali menoleh pada satu jawaban yang tak lekang oleh waktu, yaitu Pancasila.

Namun betapa sering Pancasila hanya diperlakukan sebatas teks hukum, dasar negara, atau ideologi formal yang sekadar dihafalkan di bangku sekolah dan diperingati setiap tanggal 1 Juni. Dalam perlakuan itu, ia seakan kehilangan denyut hidupnya, padahal jauh lebih dalam dari sekadar pasal atau simbol. 

Pancasila adalah napas kebersamaan, falsafah hidup yang menuntun cara kita memandang diri dan dunia, ia bukan sekadar milik negara melainkan milik manusia Indonesia yang terus belajar menemukan makna eksistensinya sebagai pribadi yang bebas sekaligus bagian dari masyarakat yang saling bergantung.

Lebih dari Sekadar Dasar Negara

Sering kali kita melihat Pancasila sebatas naskah konstitusional yang lahir dari ruang-ruang sidang penuh debat pada masa menjelang kemerdekaan. Ia tampak seperti sesuatu yang selesai dirumuskan dan kini tinggal diwarisi. Tetapi jika kita mau menyingkap lapis demi lapis maknanya, Pancasila lebih dari sekadar dokumen politik; ia menyimpan kedalaman filsafat yang berakar pada cara manusia Indonesia memandang Tuhan, sesama, dan semesta yang melingkupinya.

Asal-usulnya bukanlah sekadar hasil kompromi politik singkat. Pancasila lahir dari perenungan panjang para pendiri bangsa, dan sebuah usaha merumuskan dasar bersama bagi masyarakat yang majemuk, yang bersuku, berbudaya, dan keyakinannya begitu beragam, nilai-nilainya bukan barang baru melainkan kristalisasi dari kearifan Nusantara yang telah hidup berabad-abad dalam tradisi, kepercayaan, dan praktik keseharian masyarakat.

Oleh karena itu Pancasila tidak hanya berbicara kepada negara sebagai mesin birokrasi, tetapi juga kepada setiap manusia Indonesia sebagai pribadi yang memiliki nurani. Ia mengandung etika kehidupan yang mengalir ke dalam relasi kita dengan Yang Transenden (sila pertama), sikap adil dan beradab terhadap sesama (sila kedua), kemampuan menjahit perbedaan menjadi persatuan (sila ketiga), kebijaksanaan dalam berdemokrasi (sila keempat), hingga tekad menegakkan keadilan sosial (sila kelima).

Jika direnungkan lebih jauh lagi, Pancasila mengajak kita untuk melampaui ketaatan formal, ia bukan sekadar aturan yang harus dipatuhi atau jargon yang diulang di podium upacara. Pancasila adalah panggilan untuk terus menjadi manusia yang utuh, manusia yang belajar hidup selaras dengan sesama dan semesta, sekaligus menapaki jalan menuju kemanusiaan yang lebih luhur.

Sila-Sila sebagai Cerminan Diri

Setiap sila dalam Pancasila sebenarnya bisa kita maknai sebagai cermin, sebuah ruang refleksi untuk bertanya pada diri: sejauh mana kita sungguh-sungguh menghidupi nilai-nilainya dalam keseharian?

  • Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak berhenti pada ritual formal agama, ia menyinggung spiritualitas yang lebih dalam: kesadaran akan keterbatasan manusia, kerendahan hati di hadapan Yang Ilahi, dan penghormatan tulus terhadap iman orang lain. Pertanyaannya, apakah kita benar-benar sudah hidup dengan hati yang terbuka, yang menghargai perbedaan keyakinan sebagai bagian dari rahmat keberagaman?
  • Kemanusiaan yang Adil dan Beradab menegaskan martabat manusia sebagai nilai yang tak boleh ditawar. Ia menolak kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan yang merendahkan. Namun, di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, masihkah kita melihat orang lain sebagai sesama yang layak dihormati, atau justru tergoda memandangnya hanya sebagai alat, pesaing, bahkan ancaman?
  • Persatuan Indonesia sering terdengar dalam slogan dan seremonial tetapi makna terdalamnya jauh melampaui itu. Persatuan menuntut kita merawat kebhinekaan tanpa harus menyingkirkan perbedaan. Ia mengajak kita menumbuhkan keberanian untuk berdialog, bahkan dengan mereka yang tidak sepaham tanpa merasa terancam oleh perbedaan itu sendiri.
  • Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan lahir dari semangat musyawarah: sebuah ajakan untuk mendengar sebelum menuntut, untuk berdiskusi sebelum menghakimi, untuk mencari titik temu demi kebaikan bersama. Tetapi apakah kita sudah benar-benar mempraktikkan demokrasi sebagai ruang dialog, atau baru sebatas menuntut hak tanpa kesediaan mendengar suara orang lain?
  • Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia adalah puncak ujian bagi semua sila yang lain. Ia mengingatkan kita bahwa bangsa ini hanya bisa kokoh jika tidak ada seorang pun yang tertinggal, tidak ada yang dibiarkan hidup di pinggiran. Pertanyaannya, beranikah kita menata kehidupan bersama agar benar-benar adil meski itu berarti mengubah kenyamanan yang sudah kita nikmati?

Membaca Pancasila dengan cara ini menuntun kita menyadari bahwa menjadi warga Indonesia bukan semata urusan administratif. Ia adalah panggilan etis: untuk terus memperbaiki diri, merawat kebersamaan, dan membangun masa depan yang lebih manusiawi.

Krisi dan Relevansi Pancasila Hari Ini

Di abad ke-21 ini, wajah tantangan terhadap Pancasila tampil dengan begitu beragam, dari polarisasi politik yang memecah belah, derasnya arus hoaks di ruang digital, ekstremisme yang menggerus toleransi, hingga gaya hidup konsumtif yang menumpulkan kepekaan sosial. Dalam pusaran itu semua Pancasila hadir laksana jangkar moral, menjaga agar kapal besar bernama Indonesia tidak mudah terombang-ambing di lautan zaman.

Namun jika kita jujur, ancaman terbesar terhadap Pancasila bukanlah serangan dari luar melainkan sikap acuh dari dalam. Saat Pancasila hanya tinggal kata-kata yang dibacakan di upacara, tanpa benar-benar dihidupi dalam keseharian, di sanalah makna sejatinya perlahan hilang. Sesungguhnya Pancasila tidak pernah gagal, justru yang sering gagal adalah kita sebagai manusia yang enggan menjadikannya nyata dalam tindakan.

Karena itu kita perlu menempatkan kembali Pancasila sebagai kerangka yang membimbing cara berpikir, meresapi perasaan, dan mengarahkan tindakan. Dalam dunia pendidikan, Pancasila mestinya hadir bukan sebagai dogma yang dipaksakan, melainkan sebagai proses reflektif yang menumbuhkan kesadaran kritis. Dalam ranah politik, ia seharusnya menjadi tolok ukur etika, bukan sekadar alat retorika, dan dalam kehidupan sehari-hari Pancasila perlu diwujudkan dalam sikap nyata, bukan hanya diulang sebagai semboyan.

Pancasila adalah Harapan yang Terus Menyala

Di tengah realitas sosial yang semakin terasa penuh sekat dan perpecahan, Pancasila senantiasa hadir sebagai jembatan harapan. Ia mengingatkan kita bahwa fondasi bangsa ini tidak pernah dibangun di atas ideologi yang sempit, melainkan dari kearifan kolektif yang mampu merangkul keragaman. Relevansinya pun tidak lahir dari paksaan atau seremonial belaka, melainkan dari kesediaan kita untuk membuka ruang bagi nilai-nilainya agar menuntun cara kita berpikir, bersikap, dan melangkah.

Menghidupi Pancasila adalah amanah yang melekat pada kita semua. Bukan karena kewajiban administratif, melainkan karena keyakinan bahwa bangsa ini memang layak diperjuangkan dengan nilai-nilai luhur. Ia menuntun kita untuk memilih kasih daripada kebencian, penghormatan daripada perendahan, refleksi daripada egoisme, serta cita bersama daripada kepentingan pribadi yang memecah. Dalam sikap seperti itulah Pancasila menemukan kehidupannya yang sejati.

Sebagai sebuah filsafat hidup, Pancasila akan selalu berbicara sepanjang masih ada manusia Indonesia yang setia pada suara nurani. Selama ada yang memilih kejujuran meski digoda oleh korupsi, yang memilih persaudaraan meski dikelilingi perbedaan, dan yang memilih keadilan meski berhadapan dengan ketimpangan, maka Pancasila akan tetap bernapas---hidup, menyatu, dan berdetak bersama denyut nadi bangsa ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun