PANCASILA:
SEBAGAI FILOSOFI HIDUP DAN REFLEKSI DIRI
September 24, 2025 by Thaba Pamungkas
Pancasila sebagai Filosofi Hidup dan Refleksi Diri
Berabad-abad perjalanan sejarah bangsa ini selalu menyingkap pertanyaan yang sama,Â
"apa yang sebenarnya membuat kita tetap utuh sebagai satu bangsa?" Di tengah riuhnya keberagaman, suku, agama, ras, hingga golongan yang berbeda. Ditambah derasnya arus globalisasi, kecanggihan teknologi, dan perubahan sosial yang seakan tak mengenal jeda kita terus kembali menoleh pada satu jawaban yang tak lekang oleh waktu, yaitu Pancasila.
Namun betapa sering Pancasila hanya diperlakukan sebatas teks hukum, dasar negara, atau ideologi formal yang sekadar dihafalkan di bangku sekolah dan diperingati setiap tanggal 1 Juni. Dalam perlakuan itu, ia seakan kehilangan denyut hidupnya, padahal jauh lebih dalam dari sekadar pasal atau simbol.Â
Pancasila adalah napas kebersamaan, falsafah hidup yang menuntun cara kita memandang diri dan dunia, ia bukan sekadar milik negara melainkan milik manusia Indonesia yang terus belajar menemukan makna eksistensinya sebagai pribadi yang bebas sekaligus bagian dari masyarakat yang saling bergantung.
Lebih dari Sekadar Dasar Negara
Sering kali kita melihat Pancasila sebatas naskah konstitusional yang lahir dari ruang-ruang sidang penuh debat pada masa menjelang kemerdekaan. Ia tampak seperti sesuatu yang selesai dirumuskan dan kini tinggal diwarisi. Tetapi jika kita mau menyingkap lapis demi lapis maknanya, Pancasila lebih dari sekadar dokumen politik; ia menyimpan kedalaman filsafat yang berakar pada cara manusia Indonesia memandang Tuhan, sesama, dan semesta yang melingkupinya.
Asal-usulnya bukanlah sekadar hasil kompromi politik singkat. Pancasila lahir dari perenungan panjang para pendiri bangsa, dan sebuah usaha merumuskan dasar bersama bagi masyarakat yang majemuk, yang bersuku, berbudaya, dan keyakinannya begitu beragam, nilai-nilainya bukan barang baru melainkan kristalisasi dari kearifan Nusantara yang telah hidup berabad-abad dalam tradisi, kepercayaan, dan praktik keseharian masyarakat.
Oleh karena itu Pancasila tidak hanya berbicara kepada negara sebagai mesin birokrasi, tetapi juga kepada setiap manusia Indonesia sebagai pribadi yang memiliki nurani. Ia mengandung etika kehidupan yang mengalir ke dalam relasi kita dengan Yang Transenden (sila pertama), sikap adil dan beradab terhadap sesama (sila kedua), kemampuan menjahit perbedaan menjadi persatuan (sila ketiga), kebijaksanaan dalam berdemokrasi (sila keempat), hingga tekad menegakkan keadilan sosial (sila kelima).
Jika direnungkan lebih jauh lagi, Pancasila mengajak kita untuk melampaui ketaatan formal, ia bukan sekadar aturan yang harus dipatuhi atau jargon yang diulang di podium upacara. Pancasila adalah panggilan untuk terus menjadi manusia yang utuh, manusia yang belajar hidup selaras dengan sesama dan semesta, sekaligus menapaki jalan menuju kemanusiaan yang lebih luhur.