Tak cukup dengan tanah yang kau rampas,kau juga merampas napas,merenggut anak-anak di buaian,
menyeret perempuan dan orang tua
ke liang penderitaan.
Netanyahu!
lidahmu berliku,
kata-kata manis menutupi bau mesiu,
kau sebut dirimu penjaga perdamaian,
padahal tanganmu basah darah anak-anak,
perempuan yang meraung,
orang tua yang roboh tanpa nisan.
Kau berdiri di mimbar dunia,
mengaku korban sejarah,
tapi kau ulangi luka itu pada bangsa lain,
mewarisi keangkuhan penjajah,
menjual teror sebagai alasan,
menggencarkan genosida sebagai kebijakan.
Amerika, sekutu buta,
selalu siap jadi tameng,
menutup mata pada kebenaran,
menyulut api dengan bahan bakar "demokrasi",
membela Israel bagai dewa suci,
sementara bangsa lain dipaksa tunduk,
dipaksa diam,
dipaksa hancur.
Namun dunia tak seragam dalam diam:
suara-suara lain bangkit dari rimba diplomasi,
mengusik kenyamanan para penjajah.
Irlandia,
kau berdiri tegak membela manusia yang diinjak,
suaramu tajam menembus langit,
kau tak goyah oleh angkara.
Spanyol,
kau berani tantang panggung dunia,
menyebut boikot sebagai peringatan,
bahwa bola tak boleh dipakai
sebagai perapi atas luka Gaza.
Italia,
jalanmu ricuh,
rakyatmu teriak di alun-alun,
general strike mengguncang kota,
kau ajarkan pada dunia
bahwa diam adalah dosa.
Afrika Selatan,
di ruang Mahkamah Internasional kau ajukan tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan,
kau tunjuk bahwa keadilan bukan milik satu bangsa.
Bolivia,
kau hentak diplomasi dengan pengakuan tegas,
menolak perlindungan bagi penjahat perang,
menolak bahwa darah Palestina sekadar angka di laporan.
Kolombia,
presidenmu menyampaikan jeritan di hadapan PBB,
membuka mata dunia bahwa genosida bukan mitos,
tapi luka yang berdarah nyata
di tanah Gaza, di bawah bom dan kelaparan.