Di tengah kondisi Indonesia yang sedang memprihatinkan, baru-baru ini saya mendapati sebuah video dokumenter yang membuat keprihatinan semakin terasa. Dokumenter ini bukan tentang Indonesia saat ini, tetapi mengenai dosa Indonesia di masa lalu. Emosi bercampur ketika menonton video pendek yang diproduksi Watchdoc. Walau singkat, video itu seakan membuka kembali pintu yang sudah lama terkunci dalam ingatan: periode Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh. Saat bangsa sendiri memperlakukan rakyatnya lebih sadis ketimbang penjajah yang pernah datang dari seberang lautan.
Orang Aceh sering dituding tidak tahu diri karena pernah menuntut kemerdekaan. Namun, sebelum melontarkan tuduhan, belajarlah sejarah dengan benar. Aceh adalah daerah yang tak pernah bisa ditundukkan Belanda. Aceh ikut menopang lahirnya republik dengan menyumbangkan pesawat pertama bagi Indonesia. Emas yang berkilau di pucuk Monas, itu persembahan Aceh. Namun balasannya? Ketidakadilan, penindasan, dan pengkhianatan yang dibungkus jargon nasionalisme.
DOM yang berlangsung dari 1989 hingga 1998 bukan hanya operasi militer, melainkan operasi untuk membungkam sebuah bangsa kecil yang menjerit. Ribuan orang ditangkap, ratusan hilang tanpa jejak. Rumah-rumah dibakar, perempuan diperkosa, anak-anak tumbuh dalam ketakutan. Aparat militer diberi wewenang luar biasa, bahkan di atas hukum. Di Aceh waktu itu, jam malam bukan sekadar aturan, melainkan teror. Lampu padam, jalan sepi, hanya suara sepatu lars yang berderap di kegelapan.
Rumoh Geudong di Pidie menjadi simbol penderitaan. Sebuah rumah adat Aceh yang dulunya berwibawa, berubah menjadi pos penyiksaan. Di sana orang-orang diciduk, dituduh terlibat Gerakan Aceh Merdeka, lalu disetrum, dipukul, bahkan ada yang tidak pernah pulang. Kesaksian korban menyebutkan, tubuh mereka diikat, wajah ditutup kain basah, hingga sulit bernapas. Ada yang digantung terbalik, ada pula yang dipaksa menyaksikan keluarganya disiksa. Bagi rakyat Aceh, Rumoh Geudong bukan sekadar bangunan, ia adalah luka yang menolak sembuh.
Ketika pemerintah meresmikan monumen dan memberi "tali asih" Rp10 juta kepada korban, muncul pertanyaan besar dari dalam nurani: apakah luka sepanjang hidup bisa dihargai dengan nominal itu? Bagaimana dengan martabat manusia yang dihancurkan? Apa cukup sekadar prasasti dan sembako untuk menghapus trauma yang diwariskan lintas generasi?
Dari Aceh ke Papua: Pola yang Sama
Aceh tidak sendirian. Papua mengalami nasib serupa. Tanah kaya emas, tembaga, dan sumber daya alam melimpah, tetapi rakyatnya dicekik dalam kemiskinan. Di sana juga ada operasi militer, penghilangan nyawa tanpa proses hukum, dan stigmatisasi terhadap masyarakat yang menuntut haknya. Seakan negara ini menanggapi suara keadilan dari daerah pinggiran dengan moncong senjata, bukan dialog.
Pola kekerasan negara itu hampir identik. Tuduhan terhadap masyarakat, baik "separatis", "simpatisan GAM", atau "OPM", menjadi stempel yang melegalkan penangkapan dan penyiksaan. Laporan Komnas HAM mencatat, di Papua, penembakan dan penyiksaan masih berulang hingga kini. Bedanya, jika Aceh akhirnya mendapat MoU Helsinki tahun 2005 yang membuka jalan damai, Papua tetap terperangkap dalam siklus konflik.
Aceh dan Papua sama-sama kaya. Sumber daya mereka, gas alam di Arun, emas di Grasberg, mengalir ke pusat, tapi tidak menetes ke rakyat lokal. Inilah yang disebut kolonialisme internal: ketika pusat memperlakukan daerah kaya sebagai ladang eksploitasi, bukan sebagai bagian dari republik yang setara.
Pemerintah memang sudah mengakui adanya pelanggaran HAM berat di Aceh dan Papua, bahkan mencoba menyelesaikannya secara non-yudisial. Tapi mari kita jujur: pengakuan tanpa penegakan hukum hanyalah penghapus yang gagal membersihkan tinta. Korban tetap hidup dengan trauma, sementara pelaku tetap bebas tanpa pertanggungjawaban.