Meski suami memakaikan saya jaket hangat yang tebal, saya tetap menggigil. Gigi saya bergemeruk. Kondisi itu terjadi cukup lama dibarengi dengan mengigau. Pikiran saya kacau, jangan-jangan ajal telah tiba.
Suami lantas menempelkan telapak tangannya ke telapak tangan saya, lalu digosok-gosok agar memunculkan rasa hangat. Namun, itu tidak kunjung membaik. Saya masih terus menggigil. Suami saya yang mulai panik, kemudian membaluri kaki saya dengan minyak tawon agar hangat.
Entah yang saya rasakan kemudian. Pagi-pagi ketika bangun tubuh saya terasa segar kembali. Menyambut pagi yang indah. Cuaca cukup bersahabat. Saya berjalan menyusui hamparan ini untuk menghangatkan tubuh. Alhamdulillah masih diberi kehidupan.
Di alun-alun Surya Kencana ini terhampar banyak Edelweis. Tumbuh begitu subur. Bunga ini tidak boleh dipetik. Bukan karena beracun, tapi terlarang saja karena bunga ini termasuk langka. Terdapat juga rumput liar. Berada di sini berarti tanda ke puncak sudah dekat.
Di sini juga terdapat sumber air yang dingin tapi menyegarkan. Saya pun membasuh wajah saya agar terasa fresh. Kata suami, waktu kedinginan itu, wajah saya sangat seperti mayit.
Melihat kondisi ini, suami saya merasa khawatir kalau terjadi apa-apa pada saya, semisal saya meninggal dunia. Bagaimana suami menyampaikan berita ini kepada orangtua saya? Syukurlah itu tidak terjadi.
Saya tidak tahu, apakan kondisi saya saat itu bisa dibilang hipotermia? Berdasarkan literatur yang saya baca, saya sepertinya terkena hipotermia ringan atau sedang.
Hipotermia terjadi saat tubuh mengalami penurunan suhu. Penyebabnya, paparan suhu dingin terus-menerus. Rata-rata suhu tubuh manusia adalah 37 derajat Celcius, jika mengalami hipotermia dapat turun hingga di bawah 35 derajat Celcius dan bahkan lebih.
Saat kondisi ini terjadi, sebagian besar panas tubuh hilang bahkan hingga 90%. Panas tersebut keluar melalui kulit dan menghembuskannya melalui napas dari paru-paru.