Mohon tunggu...
Okti Li
Okti Li Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga suka menulis dan membaca.

"Pengejar mimpi yang tak pernah tidur!" Salah satu Kompasianer Backpacker... Keluarga Petualang, Mantan TKW, Indosuara, Citizen Journalist, Tukang icip kuliner, Blogger Reporter, Backpacker,

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Simple Menjadi Generasi Berencana

11 Oktober 2014   05:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:30 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebagai ibu muda dengan usia anak belum sampai dua tahun, gembar-gembor mengenai keluarga berencana, alat kontrasepsi dan seputar urusan ibu dan anak selalu menjadi santapan sehari-hari. Baik itu di rumah dalam bentuk nasihat dari mertua maupun ibu sendiri, maupun saat bertemu tetangga, khususnya tetangga wanita. Apalagi jika ke posyandu saat membawa si kecil. Program keluarga berencana seolah sudah menjadi menu wajib.

Sesungguhnya aku mensyukuri semua informasi yang selalu menghampiriku dengan sendirinya itu. Dengan kata lain aku juga merasa bangga bahwa keluarga dan lingkunganku ternyata sudah faham dan mengerti benar akan apa itu program keluarga berencana. Sejauh mana pemahaman mereka akan program pemerintah ini membuatku angkat topi. Keluarga sejahtera sudah menjadi tujuan yang tidak bisa ditawar lagi.

Kini tanggung jawab itu melekat di tanganku. Akan aku apakan? Program pemerintah ini sudah disosialisasikan sejak bertahun-ahun silam, tapi mengapa masih ada saja keluarga yang belum memahami benar apa itu program keluarga berencana? Jangan jauh-jauh, kakakku sendiri saja, dalam usia yang belum mencapai kepala empat, dia sudah mempunyai anak 7 orang! Anak terkecil seusia anakku.

Dan lebih memprihatinkan lagi, keponakanku yang perempuan, anak perempuan kakakku itu yang pertama juga dalam usia dibawah 25 kini sudah mempunyai empat orang anak! anak terbesar 5 tahun sementara yang paling kecil baru 3 bulan. Apa karena itu ibuku sangat mewanti-wanti kepadaku tentang program keluarga berencana ini?

Padahal, keluarga kami, juga keluarga kakakku sangat pas-pasan. Aku bisa merasakan betapa berat beban hidup kakakku itu untuk menghidupi ketujuh anaknya yang masih membutuhkan biaya. Dan karenanya, anak pertama menikah muda, anak kedua tidak melanjutkan sekolah, kini merantau ke ibu kota mengikuti sang paman dari pihak ayahnya. Sementara anak ketiga sekolah namun tidak fokus dan sering bermasalah. Anak keempat baru masuk SLTP sementara anak kelima dan keenam, yang seharusnya sudah masuk PAUD, sama sekali tidak (belum) bersekolah.

Apa yang salah dengan kakak dan keponakanku? Di jaman modern dan serba canggih ini, kenapa masih juga mengabaikan anjuran pemerintah untuk menjalani keluarga berencana? Apa sosialisasi itu tidak sampai kepada mereka? Oh, tidak mungkin. Ibuku saja, mati-matian sudah memberitahu kakak serta anaknya itu untuk menggunakan alat kontrasepsi demi bisa menjaga jarak kehamilan, sejak anak pertama mereka baru lahir. Sama percis halnya seperti yang dilakukan ibu padaku saat ini.

Aku pikir kali ini sudah menjadi bagian tugasku sebagai generasi berencana untuk mencari tahu. Apa gerangan yang menyebabkan semua itu? Sungguh aku kasihan terhadap kondisi perekonomian mereka. Aku juga tidak tega melihat anak-anak yang masih terlalu kecil sudah tidak terurus karena ada adiknya yang lebih kecil yang lebih diutamakan pengasuhannya.

Takut. Jawaban kakakku dan jawaban keponakanku sama: takut. Mereka dengan simpsle menjawab takut kalau menggunakan alat kontrasepsi, dan atau berurusan dengan program keluarga berencana. Sebuah alasan yang menurutku sama sekali di luar kewajaran.

Mendengar berita kalau memakai alat kontrasepsi itu ada yang harus dimakan dan telaten, ada yang harus dengan disuntik, dan bahkan ada yang dimasukkan (maaf) ke dalam kemaluan, dan sebagainya. Dengan polosnya, kedua ibu hebat satu keturunan itu dengan ringan cukup menjawab karena takut, saat aku tanya kenapa mereka tidak mengikuti program KB.

Bidan beserta rekan-rekannya hanya menertawakan, dan tidak lagi-lagi mengajak kakak serta keponakanku jika ada posyandu atau kegiatan sosialisasi Keluarga Berencana. Jika pihak yang seharusnya bertanggungjawab saja lepas tangan, lalu akan bagaimana jadinya warga yang berpikiran dangkal contohnya seperti kakakku itu?

Kini aku menjadi bagian dari Generasi Berencana itu. Perlahan namun kontinyu aku memberikan pengertian sekaligus ajakan khususnya kepada kakakku dan keponakanku. Saat ini keduanya masih belum bersedia. Berbagai alasan selalu dikedepankan. Tapi aku tidak akan menyerah. Hitung-hitung mengajarkan disiplin kepada diriku sendiri, aku akan terus memberikan pengertian serta ajakan. Dan tentunya bukan hanya sekedar omong doang, tapi juga dengan praktek yang bisa aku perlihatkan kepada mereka sebagai bukti. Bahwa aku yang sudah mencoba beberapa alat kontrasepsi, hingga saat ini memakai KB suntik dengan masa 3 bulan, baik-baik saja dan tidak mengalami hal yang mereka takutkan.

Sesimple itu saja yang bisa aku lakukan sebagai Generasi Berencana. Langkah yang teramat kecil memang, namun berharap ada manfaat yang bisa sampai dan diterima oleh mereka. Untuk kakak dan keponakanku, memang sudah sangat terlambat jika mengacu kepada visi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) yang berbunyi "Penduduk Tumbuh Seimbang 2015". Tapi kesadaran hidup sejahtera bukankah tidak ada batasannya? Dan yang terpenting, kesadaran itu harus sampai kepada seluruh lapisan masyarakat, di segala penjuru daerah. Supaya generasi berencana itu terus tumbuh dan pemahamannya semakin mengakar kuat pada setiap generasi baru yang lahir.

Tidak hanya menimpa keluargaku, di daerah lain, hal serupa juga banyak terjadi. Saat aku main ke rumah teman di daerah Kemang, Bogor, di salah satu desa tetangganya, di suatu kampung yang ditangani oleh temanku, mayoritas warganya masih belum faham benar akan program Keluarga Berencana. Menyedihkan memang, jika di wilayah penyangga ibu kota saja, yang nota bene tidak kampung-kampung amat, masih banyak warga yang belum "tersentuh" hatinya oleh program keluarga Berencana.

Membayangkan Indonesia yang sangat luas, dengan daerah yang lebih terpencil dan lebih terisolir daripada kampung halamanku atau kampung di desa tetangga tempat temanku tinggal di Bogor sana, sadar benar betapa pekerjaan para petugas BKKBN itu sangat berat. Rasanya tidak berlebihan jika di era kepemimpinan baru nanti, BKKBN akan berada dalam satu kementrian khusus yang berdiri sendiri.

Dan satu hal yang tidak pernah aku tinggalkan adalah doa, berharap warga yang belum sadar akan pentingnya program keluarga berencana segera disadarkan supaya misi “Mewujudkan Pembangunan yang Berwawasan Kependudukan dan Mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera” segera tercapai. Jika generasi muda sehat dan sejahtera, harapan untuk membentuk Negara Indonesia menjadi negara yang kuat dan stabil lebih mudah dan masuk akal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun