Mohon tunggu...
Tesalonika Hsg
Tesalonika Hsg Mohon Tunggu... Kompasianer 2024

Menyelami komunikasi pada bidang multidisipliner.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ketika Ragu Justru Membawa Kita Lebih Dekat pada Kebenaran

12 Oktober 2025   16:49 Diperbarui: 12 Oktober 2025   16:51 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kepercayaan Diri (Sumber: Unsplash)

"Ada masa ketika aku merasa kehilangan arah. Bukan karena tidak punya tujuan, tapi karena aku ragu pada langkah yang kuambil. Rasanya seperti berdiri di persimpangan yang kabutnya tebal, ingin maju tapi takut salah arah. Aku mencoba meyakinkan diri, tapi semakin keras aku berusaha percaya, semakin besar juga rasa tidak yakinku. Hingga aku mulai merenung, apakah ragu selalu berarti lemah, atau mungkin ia justru bagian dari perjalanan menuju keyakinan yang lebih dalam?"

Kita sering diajarkan untuk selalu yakin sama pilihan sendiri untuk tidak menoleh ke belakang, untuk melangkah dengan penuh kepastian. Nampaknya, hidup tidak sesederhana itu. 

Terkadang, ragu justru datang sebagai ruang jeda ruang untuk menenangkan pikiran yang terlalu cepat mengambil kesimpulan, dan hati yang belum sempat mendengar suara Tuhan dengan jernih.

Ragu membuat kita melambat. Dalam perlambatan itu, kita mulai melihat hal-hal yang dulu terlewat alasan, makna, bahkan arah yang sebenarnya kita cari.

Ragu Bukan Lawan dari Iman

Banyak orang takut dengan rasa ragu. Mereka menganggapnya sebagai tanda kurang iman atau bukti bahwa hati sedang jauh dari kepercayaan. 

Padahal, justru dari keraguanlah iman bisa tumbuh. Iman yang sejati tidak dibangun dari kepastian yang tidak pernah digoyahkan, melainkan dari keberanian untuk tetap berjalan meski kabut belum tersingkap seluruhnya.

Ragu bukan berarti kita kehilangan arah, tapi kita sedang belajar membedakan antara suara ketakutan dan suara kebenaran. 

Kadang, dua suara itu terdengar mirip seperti sama-sama berbisik di dalam kepala. Tapi lewat waktu dan keheningan, kita akan tahu, mana yang menghakimi dan mana yang menuntun.

Keraguan menguji kesabaran kita dalam menunggu jawaban yang tidak instan. Ia mengajarkan bahwa kebenaran bukan hal yang harus ditemukan segera, melainkan hal yang disadari perlahan. 

Ada kebenaran yang baru tampak ketika kita cukup berani untuk tetap diam, cukup tenang untuk tidak memaksa, dan cukup jujur untuk mengakui bahwa kita sedang tidak tahu.

Menemukan Kebenaran Melalui Keheningan

Ragu sering membawa kita pada keheningan diri atau merenung. Di sanalah, pelan-pelan, kita mulai mendengar sesuatu yang lebih lembut dari suara dunia bisikan hati yang tidak lagi ingin terburu-buru. 

Di saat seperti itu, kita belajar bahwa kebenaran tidak selalu datang dalam bentuk jawaban yang jelas, tapi dalam kedamaian yang tak bisa dijelaskan.

Mungkin memang tidak semua hal harus segera dimengerti. Ada hal-hal yang hanya bisa dijalani, bukan diuraikan. Ada kebenaran yang baru bisa dipahami setelah kita berhenti melawannya. 

Dan ketika kita berhenti memaksa diri untuk yakin, justru di sanalah keyakinan sejati lahir. Bukan dari kepastian, tapi dari kepercayaan diri untuk diri sendiri

Keraguan, jika dihadapi dengan lembut, tidak lagi menjadi musuh. Ia justru akan menjadi guru. Ia mengingatkan bahwa perjalanan spiritual bukan tentang selalu yakin, tapi tentang tetap hadir meski tidak tahu arah. 

Kita tidak menemukan pilihan hidup tidak hanya karena terus berlari mencarinya, tapi karena akhirnya kita berani berhenti dan diam tentang apa sebenarnya tujuan kita lahir ke dunia.

Mungkin saja dalam diam itu, Tuhan sedang berbicara tentanf keputusan hidup yang seharusnya diambil.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun