"Ada masa ketika aku merasa setiap emosi harus segera diberi suara atau aksi keras. Saat marah, aku ingin membalas. Saat tersinggung, aku merasa wajib menjelaskan. Aku pikir, menahan diri hanya membuatku tampak lemah. Namun perlahan aku menyadari, reaksi yang spontan tidak selalu menandakan kejujuran. Kadang, itu hanyalah cara lama untuk melindungi luka yang belum sempat sembuh."
Kita sering terjebak dalam ritme emosi bahwa tidak semua yang terasa mendesak perlu ditanggapi. Ada kalanya emosi ingin numpang lewat, tapi kita memaksanya tinggal dalam hati dengan memberi jawaban.Â
Semakin sering kita menanggapi setiap perasaan yang datang, semakin lelah jiwa kita menampung semua reaksinya. Ada ruang di dalam diri yang seharusnya tetap tenang, tempat di mana kita bisa mengamati tanpa harus terbakar.
Belajar untuk tidak menjawab semua hal bukan berarti menolak perasaan, tetapi memberi waktu agar pikiran dan hati punya jarak yang cukup untuk memahami.Â
Kadang diam bukan tanda kalah, tapi cara untuk tetap memegang kendali atas diri sendiri. Sebab tidak semua situasi membutuhkan reaksi. Ada hal-hal yang cukup dipahami dalam hati, tanpa harus diucapkan.
Menahan Bukan Berarti Mati Rasa
Menahan diri tidak sama dengan menolak perasaan. Ia justru bentuk paling jujur dari pengendalian diri, saat kita memilih untuk tidak membiarkan amarah menguasai tindakan.
Kadang orang mengira ketenangan itu terasa dingin. Padahal yang sebenarnya tenang bukan berarti tidak peduli. Tenang justru tanda bahwa seseorang sudah cukup paham bahwa tidak semua pertempuran "pantas" dimenangkan.
Butuh keberanian besar untuk diam ketika dunia memancing reaksi. Butuh kesadaran untuk berkata dalam hati, "Aku tahu ini menyakitkan, tapi aku tidak harus membalas."
Setiap kali kita berhasil menahan diri, bahkan untuk hal kecil, kita sedang membangun kekuatan batin yang perlahan meneguhkan jiwa. Itu bukan kekalahan, tapi kemenangan yang lebih sunyi.