Mohon tunggu...
Tesalonika Hsg
Tesalonika Hsg Mohon Tunggu... Kompasianer 2024

Menyelami komunikasi pada bidang multidisipliner.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Saat Emosi Datang, Cobalah Tidak Selalu Menjawabnya

11 Oktober 2025   22:00 Diperbarui: 11 Oktober 2025   20:31 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tersenyum Ikhlas (Sumber: Unsplash)

"Ada masa ketika aku merasa setiap emosi harus segera diberi suara atau aksi keras. Saat marah, aku ingin membalas. Saat tersinggung, aku merasa wajib menjelaskan. Aku pikir, menahan diri hanya membuatku tampak lemah. Namun perlahan aku menyadari, reaksi yang spontan tidak selalu menandakan kejujuran. Kadang, itu hanyalah cara lama untuk melindungi luka yang belum sempat sembuh."

Kita sering terjebak dalam ritme emosi bahwa tidak semua yang terasa mendesak perlu ditanggapi. Ada kalanya emosi ingin numpang lewat, tapi kita memaksanya tinggal dalam hati dengan memberi jawaban. 

Semakin sering kita menanggapi setiap perasaan yang datang, semakin lelah jiwa kita menampung semua reaksinya. Ada ruang di dalam diri yang seharusnya tetap tenang, tempat di mana kita bisa mengamati tanpa harus terbakar.

Belajar untuk tidak menjawab semua hal bukan berarti menolak perasaan, tetapi memberi waktu agar pikiran dan hati punya jarak yang cukup untuk memahami. 

Kadang diam bukan tanda kalah, tapi cara untuk tetap memegang kendali atas diri sendiri. Sebab tidak semua situasi membutuhkan reaksi. Ada hal-hal yang cukup dipahami dalam hati, tanpa harus diucapkan.

Menahan Bukan Berarti Mati Rasa

Menahan diri tidak sama dengan menolak perasaan. Ia justru bentuk paling jujur dari pengendalian diri, saat kita memilih untuk tidak membiarkan amarah menguasai tindakan.

Kadang orang mengira ketenangan itu terasa dingin. Padahal yang sebenarnya tenang bukan berarti tidak peduli. Tenang justru tanda bahwa seseorang sudah cukup paham bahwa tidak semua pertempuran "pantas" dimenangkan.

Butuh keberanian besar untuk diam ketika dunia memancing reaksi. Butuh kesadaran untuk berkata dalam hati, "Aku tahu ini menyakitkan, tapi aku tidak harus membalas."

Setiap kali kita berhasil menahan diri, bahkan untuk hal kecil, kita sedang membangun kekuatan batin yang perlahan meneguhkan jiwa. Itu bukan kekalahan, tapi kemenangan yang lebih sunyi.

Ketenangan tidak tumbuh dari keinginan untuk terlihat kuat, melainkan dari kesadaran bahwa tidak ada gunanya melawan sesuatu yang tidak membawa kedamaian. 

Orang yang benar-benar kuat tahu kapan harus maju dan kapan harus menepi. Ia tidak kehilangan keberanian, hanya lebih memilih ketenangan daripada kebisingan.

Diam yang Mengajarkan

Dalam diam yang benar-benar hening, kita mulai mendengar suara yang sering tertutup oleh kebisingan reaksi, suara dari dalam diri.

Kadang amarah datang bukan karena orang lain, tapi karena ada bagian dari diri yang ingin dimengerti. 

Jika kita langsung membalas, kita hanya menambah lapisan konflik. Tapi saat kita berhenti sejenak, kita memberi ruang bagi pemahaman untuk tumbuh.

Keheningan tidak selalu mudah. Ia sering kali menyakitkan, karena kita dipaksa menatap perasaan yang paling jujur. 

Namun justru di sana, pemulihan dimulai. Bukan dari meluapkan semuanya, melainkan dari keberanian untuk tetap sadar dalam badai perasaan.

Diam juga mengajarkan kita untuk membedakan antara yang perlu direspons dan yang cukup dilepaskan. 

Tidak semua yang memancing emosi adalah panggilan untuk bertindak. Kadang itu hanya ujian kecil untuk melihat seberapa jauh kita sudah belajar tenang. Semakin kita memahami hal itu, semakin ringan hati berjalan.

Ketenangan yang Dewasa

Mungkin kita tidak akan selalu berhasil tenang. Akan ada saat-saat ketika emosi tetap meledak, dan itu tidak apa-apa. 

Namun, setiap kali kita belajar menunda reaksi, kita sedang menumbuhkan kebijaksanaan.

Kedewasaan bukan tentang tidak marah lagi, tapi tentang tahu kapan amarah harus dibiarkan lewat tanpa harus dijadikan tindakan.

Dan mungkin, di titik tertentu, kita akan sampai pada pemahaman sederhana. Tidak semua hal perlu dijawab, tidak semua perasaan harus dibuktikan. 

Beberapa cukup dirasakan, diakui, lalu dilepaskan perlahan. Sebab diam untuk tidak membalas hal yang tidak penting dan perlu adalah bentuk cinta kita pada diri sendiri.

Dalam diam itu, kita belajar bahwa kedamaian bukanlah ketiadaan masalah, tetapi kemampuan untuk tetap utuh di tengah kekacauan. 

Di sanalah keheningan berubah menjadi doa. Sebuah cara halus untuk berkata kepada Tuhan, "Aku tidak ingin menang, tapi aku hanya ingin tenang."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun