Data dari Meutya Hafid, Menteri Komunikasi dan Digital menyebutkan bahwa 90% Gen Z di Indonesia sudah menguasai pangsa pasar internet.
Angka tersebut tentu terlihat membanggakan sekaligus memprihatinkan. Generasi yang tumbuh bersama gawai dan platform digital kini menjadi kelompok dengan akses paling luas ke dunia maya. Dengan satu klik, informasi apa pun bisa didapatkan.
Namun, apakah penguasaan internet ini otomatis berarti mereka juga menguasai literasi?
Kita tahu, internet tidak hanya menyajikan pengetahuan, tetapi juga banjir informasi yang bercampur baik fakta, opini, dan disinformasi.
Di sinilah Gen Z menghadapi pekerjaan rumah besar. Kemampuan berselancar di dunia digital harus diimbangi dengan keterampilan berpikir kritis, agar tidak terjebak dalam jebakan informasi instan yang menyesatkan.
Internet sebagai Kekuatan: Dari Konsumsi ke Inovasi
Generasi Z lahir di era digital, di mana internet bukan lagi sekadar alat, melainkan ruang hidup.
Mereka menggunakan media sosial untuk mengekspresikan diri, belajar melalui platform video, dan berjejaring untuk membuka peluang karier. Tidak heran bila Gen Z disebut generasi yang paling cepat beradaptasi dengan teknologi.
Namun, ada perbedaan penting antara “menguasai internet” dengan “memanfaatkannya secara strategis”. Banyak yang masih terjebak pada konsumsi pasif, seperti scrolling tanpa henti, mengikuti tren, atau sekadar mengulang informasi tanpa mengujinya.
Padahal, peluang besar justru terbuka ketika internet dipakai untuk mencipta, bukan hanya menerima.