Pada Jumat, (15/8), saya berkesempatan menonton Demon Slayer: Infinity Castle Arc di bioskop pada hari pertama penayangannya di Indonesia.Â
Kebetulan, di bioskop terdekat saya tidak ada yang menayangkan film Merah Putih "One For All". Jadi saya punya alasan kenapa saya lebih menonton film penjajah dibandingkan negeri sendiri. Sejak awal, ekspektasi saya cukup tinggi ke Infinity Castle karena arc ini memang menjadi salah satu bagian paling ditunggu-tunggu oleh para penggemar.
Benar saja, begitu film dimulai, nuansa tegang dan emosional langsung terasa. Bukan hanya karena visualnya yang memukau, tetapi juga karena kisah yang dihadirkan menyentuh lapisan perasaan terdalam tentang pengorbanan, keberanian, dan rasa kehilangan.
Infinity Castle adalah panggung utama pertempuran besar. Film ini menandai dimulainya perjuangan para pembasmi iblis melawan Raja Iblis, Muzan Kibutsuji. Momen ketika para Hashira dan Tanjiro beserta kawan-kawannya masuk ke dalam kastil yang penuh jebakan dan misteri, seakan menjadi titik balik tidak ada jalan pulang selain maju melawan.Â
Sejak detik itu, Anda akan diajak menyaksikan pertarungan penuh air mata yang memperlihatkan harga mahal dari sebuah kemenangan.
Nuansa Tangis di Balik Pertarungan
Salah satu daya tarik terbesar Infinity Castle Arc adalah bagaimana film ini mengemas adegan pertarungan tidak sekadar penuh aksi, tetapi juga sarat emosi. Ada banyak momen yang membuat penonton sulit menahan air mata.
Zenitsu, misalnya, yang biasanya dikenal dengan sikap pengecutnya, kali ini tampil berbeda. Pertarungannya melawan Upper Rank Kaigaku (disebut juga Solo Prayer) bukan hanya duel fisik, tetapi juga pertemuan dengan masa lalu yang pahit bersama dengan kakeknya. Melihat Zenitsu yang penuh luka batin akhirnya menemukan keberanian sejatinya adalah salah satu titik paling menyayat hati di film ini.
Shinobu melawan Douma menjadi adegan lain yang menghancurkan perasaan penonton. Shinobu tahu bahwa kekuatannya tidak sebanding dengan Douma, tetapi ia tetap maju. Pertarungan ini sarat dengan pengorbanan karena sejak awal Shinobu menyusun rencana dengan tubuhnya sendiri sebagai senjata. Melihat keteguhan hatinya membuat kita kembali diingatkan bahwa keberanian bukan soal menang atau kalah, tetapi tentang memilih untuk tetap berjuang meskipun peluangnya kecil.
Giyu dan Tanjiro menghadapi Akaza juga menghadirkan nuansa campuran antara kagum, pilu, dan haru. Akaza sebagai salah satu iblis yang masih menyimpan sisa-sisa kemanusiaan membuat pertarungan ini berbeda. Bukan sekadar mengalahkan lawan, tetapi juga tentang memahami luka batin yang membentuk siapa dia sekarang. Setiap tebasan pedang terasa seperti konfrontasi antara masa lalu dan masa kini, antara dendam dan harapan.