Mohon tunggu...
Tesalonika Hasugian
Tesalonika Hasugian Mohon Tunggu... Kompasianer 2024

Menyelami komunikasi pada bidang multidisipliner.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saat Bersyukur Jadi Topeng Penguat dari Rasa Lelah

13 Juni 2025   12:00 Diperbarui: 13 Juni 2025   09:22 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Hidup Tenang (Sumber: Unsplash) 

Ungkapan "yang penting bersyukur" sering kali terdengar sebagai penenang dalam menghadapi hidup yang tidak mudah. Ketika keadaan tidak sesuai harapan, banyak orang memilih untuk menunduk dan menerima.

Bersyukur menjadi simbol ketabahan, bahkan kekuatan. Tapi di sisi lain, tak sedikit yang sebenarnya hanya sedang bertahan---menyembunyikan kelelahan di balik kata "ikhlas."

Dalam kehidupan yang semakin menuntut, batas antara rasa syukur dan sikap bertahan sering kali kabur. Keduanya bisa tampak serupa dari luar, tapi secara emosional dan mental, keduanya sangat berbeda. 

Apakah kita benar-benar bersyukur atau sedang menahan diri untuk tidak menyerah?

Bersyukur: Kesadaran atau Pengalihan?

Bersyukur adalah kemampuan melihat sisi baik dari situasi, bukan karena menyangkal kesulitan, tapi karena memilih untuk tetap menghargai apa yang dimiliki. Ini adalah proses aktif yang memerlukan kesadaran penuh. 

Orang yang bersyukur tidak memaksakan diri untuk selalu bahagia, tapi bisa mengakui rasa lelah sambil tetap menghargai hal-hal kecil yang berarti.

Namun, dalam praktiknya, ungkapan syukur kadang menjadi bentuk pengalihan. Alih-alih menghadapi perasaan marah, kecewa, atau lelah, seseorang langsung melompat ke "setidaknya aku masih punya ini" sebagai cara untuk menekan emosi yang belum selesai diproses. Dalam jangka pendek, hal ini bisa membantu. 

Tapi jika terus-menerus digunakan sebagai mekanisme pelarian, maka rasa syukur itu bisa kehilangan maknanya dan berubah menjadi bentuk pengabaian terhadap diri sendiri.

Budaya sosial juga ikut memengaruhi. Banyak orang merasa tidak enak jika mengeluh, karena khawatir dicap kurang bersyukur. Akibatnya, mereka memilih diam, menerima, dan terus bertahan bukan karena benar-benar ikhlas, tapi karena merasa tidak punya ruang untuk jujur pada diri sendiri.

Bertahan: Strategi Hidup yang Tak Selalu Sehat

Bertahan adalah bagian alami dari kehidupan. Dalam situasi sulit, manusia memiliki kemampuan luar biasa untuk menyesuaikan diri dan terus berjalan meski dalam tekanan. 

Namun, bertahan yang terlalu lama tanpa disertai ruang untuk bernapas dan merasakan bisa membawa dampak negatif. Emosi yang ditekan, harapan yang dikubur, dan rasa lelah yang diabaikan dapat menumpuk menjadi kelelahan mental.

Berbeda dengan bersyukur yang memberi energi, bertahan sering kali mengurasnya. Seseorang yang terus bertahan tanpa jeda bisa mengalami apa yang disebut sebagai "survival mode" hidup hanya dari satu hari ke hari berikutnya, tanpa benar-benar merasa hadir atau terhubung dengan dirinya sendiri.

Ada juga kecenderungan untuk membandingkan diri dengan mereka yang dianggap "lebih menderita", lalu menutup suara hati sendiri. Padahal, setiap orang punya kapasitas dan batas yang berbeda.

Mengakui bahwa hidup berat tidak berarti tidak bersyukur. Justru, dengan jujur terhadap diri sendiri, kita bisa mengenali kebutuhan dan mencari bantuan sebelum benar-benar kehabisan tenaga.

Ruang di Antara Keduanya

Tidak semua hal dalam hidup bisa dikotakkan secara hitam-putih. Kadang, seseorang bisa bersyukur dan bertahan dalam waktu yang bersamaan. Yang penting adalah kesadaran untuk membedakan apakah kita sedang memilih menerima dengan hati terbuka atau hanya diam karena merasa tidak punya pilihan?

Bersyukur seharusnya bukan bentuk pemaksaan untuk selalu positif, melainkan jalan untuk tetap terhubung dengan hal-hal baik di tengah realitas yang tidak sempurna. 

Sementara bertahan, meskipun merupakan bentuk kekuatan, juga perlu disertai keberanian untuk berhenti sejenak, menilai ulang arah, dan memberi ruang bagi diri sendiri untuk merasa.

Mungkin kita tidak selalu punya jawaban pasti. Tapi mengenali perbedaan antara bersyukur dan bertahan bisa jadi langkah awal untuk hidup yang lebih jujur, lebih utuh, dan lebih manusiawi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun