Di tengah hiruk-pikuk dunia kerja yang terus bergerak cepat, tak sedikit karyawan yang merasa dirinya terjebak dalam pusaran ekspektasi dan kekhawatiran.Â
Target demi target dikejar, notifikasi tak pernah benar-benar berhenti, dan bahkan saat hari libur, kepala tak kunjung tenang.Â
Meski tubuh bisa berhenti, pikiran tetap sibuk menimbang kesalahan kecil, membayangkan penilaian atasan, hingga menyusun ulang percakapan yang sudah lewat.Â
Inilah kenyataan banyak pekerja hari ini: bekerja tidak hanya melelahkan secara fisik, tapi juga menyedot energi mental yang luar biasa.
Fenomena ini sering kali disebut sebagai overthinking kerja. Kondisi ketika seseorang terlalu banyak memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan, bahkan di luar jam kerjanya.
Namun ironisnya, overthinking ini kerap dianggap sebagai bagian dari loyalitas atau profesionalisme. Padahal jika dibiarkan, ia justru bisa jadi bom waktu bagi kesehatan mental dan relasi kerja seseorang.
Budaya Produktivitas yang Menyusup ke Pikiran
Hari ini, produktivitas bukan lagi sekadar tolak ukur kinerja. Hal tersebut telah berubah menjadi identitas.
Karyawan yang terlihat selalu sibuk, cepat merespons pesan, dan tak pernah mengambil cuti sering kali dianggap sebagai "panutan."Â
Bahkan di media sosial, narasi hustle culture masih terus digaungkan seperti bangga kerja sampai malam, bangga multitasking, dan bangga selalu online.Â
Tanpa sadar, ini menciptakan tekanan mental bagi mereka yang tidak atau tidak bisa seperti itu.