Worldcoin, meskipun mengklaim bahwa semua data iris hanya digunakan untuk menghasilkan hash dan tidak disimpan, tetap mengundang kekhawatiran karena tidak ada lembaga nasional yang mengawasi secara langsung.Â
Jika terjadi penyalahgunaan, siapa yang akan bertanggung jawab? Dan bagaimana nasib jutaan data yang sudah terkumpul?
Lebih jauh lagi, penggunaan data biometrik untuk mendapatkan akses ekonomi, seperti insentif token atau potensi integrasi dengan layanan keuangan, menimbulkan pertanyaan etika yang penting.
Apakah adil mengonversi bagian dari tubuh manusia menjadi alat tukar digital dengan nilai yang tak sebanding? Apakah masyarakat benar-benar memahami risikonya?
Kasus ini menunjukkan bahwa literasi digital masyarakat masih menjadi pekerjaan rumah besar, apalagi ketika teknologi global hadir tanpa disertai edukasi yang memadai.Â
Perlu ada kerjasama antara regulator, komunitas teknologi, dan akademisi untuk meninjau ulang bagaimana proyek seperti Worldcoin bisa diterapkan secara aman dan etis di Indonesia.
Worldcoin bukan sekadar proyek identitas digital, tetapi juga eksperimen sosial besar yang menguji kesadaran masyarakat terhadap data pribadi dan ekonomi digital.Â
Meski lahir dari visi global, ketika diimplementasikan di negara berkembang seperti Indonesia, pendekatannya harus jauh lebih hati-hati.Â
Apalagi ketika iming-iming insentif uang tunai mulai menutupi risiko jangka panjang. Legalitasnya masih belum jelas, dan perlindungan terhadap warga negara menjadi prioritas yang tidak boleh dilupakan.
Jika tidak, proyek futuristik ini justru bisa meninggalkan luka sosial dan digital yang panjang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI