Fenomena Worldcoin kembali menjadi perbincangan hangat di Indonesia.
Bukan hanya karena proyek ini digagas oleh salah satu tokoh teknologi dunia, Sam Altman, tetapi karena bagaimana sistem ini berjalan di tengah masyarakat yang belum sepenuhnya memahami risiko data biometrik.
Sejak diperkenalkan di Indonesia pada 2021, Worldcoin seolah berjalan senyap.
Namun, belakangan ini, khususnya pada pekan lalu, layanan ini merebak kembali dan menarik perhatian luas setelah muncul antrian panjang warga yang ingin memindai iris mata.
Yang menarik, bukan teknologi blockchain-nya yang jadi pusat perhatian, melainkan iming-iming keuntungan finansial yang ditawarkan setelah pemindaian biometrik dilakukan.
Banyak warga rela datang ke booth Worldcoin yang hadir di pusat-pusat perbelanjaan, seperti di Bekasi, untuk mendapatkan token WLD ataupun iming-iming uang sebesar Rp800.000.
Munculnya Worldcoin di Bekasi dan Keuntungan Finansial yang Membuat Viral
Worldcoin merupakan proyek global yang bertujuan menciptakan identitas digital universal berbasis teknologi blockchain.
Salah satu syarat utama untuk menjadi bagian dari sistem ini adalah melakukan pemindaian iris menggunakan perangkat khusus bernama Orb.
Di Indonesia, wilayah Bekasi menjadi salah satu lokasi awal peluncuran proyek ini. Namun saat itu, banyak yang tertarik karena narasi yang dibawa masih seputar teknologi masa depan.
Segalanya berubah ketika Worldcoin mulai menawarkan keuntungan berupa token WLD kepada siapa saja yang bersedia memindai irisnya.
Meski jumlah token ini kecil jika dikonversi ke rupiah, di tengah tekanan ekonomi, iming-iming ini cukup menggoda masyarakat.
Dalam beberapa kasus, warga bahkan tidak terlalu peduli tentang fungsi Worldcoin ataupun data apa yang mereka serahkan. Yang penting dapat uang.
Hal ini menandakan adanya kesenjangan pemahaman teknologi, sekaligus memperlihatkan betapa mudahnya masyarakat tertarik pada insentif instan.
Masalahnya, ketika sistem ini mulai tersebar secara masif, pemerintah Indonesia belum sepenuhnya siap.
Kementerian Komunikasi dan Digital (Kominfo) sendiri mengaku belum pernah memberikan izin khusus kepada Worldcoin, dan hingga kini belum memiliki data pasti tentang seberapa luas proyek ini telah beroperasi.Â
Dari sisi hukum, keberadaan Worldcoin berada di wilayah abu-abu. Legalitasnya belum bisa dipastikan. Apakah boleh mengumpulkan data biometrik di Indonesia? Jawabannya tidak sesederhana itu.
Risiko Biometrik dan Ketidaksiapan Regulasi
Data biometrik, seperti pemindaian iris, merupakan jenis data pribadi yang sangat sensitif.
Berbeda dengan nomor telepon atau alamat email, data biometrik tidak bisa diganti. Sekali bocor, tidak ada cara untuk mengamankannya kembali.
Maka dari itu, regulasi yang ketat seharusnya menjadi prasyarat utama sebelum data ini dikumpulkan.
Sayangnya, Indonesia masih dalam proses memperkuat perlindungan data pribadi melalui Undang-Undang PDP yang belum sepenuhnya diimplementasikan di tingkat teknis.
Worldcoin, meskipun mengklaim bahwa semua data iris hanya digunakan untuk menghasilkan hash dan tidak disimpan, tetap mengundang kekhawatiran karena tidak ada lembaga nasional yang mengawasi secara langsung.Â
Jika terjadi penyalahgunaan, siapa yang akan bertanggung jawab? Dan bagaimana nasib jutaan data yang sudah terkumpul?
Lebih jauh lagi, penggunaan data biometrik untuk mendapatkan akses ekonomi, seperti insentif token atau potensi integrasi dengan layanan keuangan, menimbulkan pertanyaan etika yang penting.
Apakah adil mengonversi bagian dari tubuh manusia menjadi alat tukar digital dengan nilai yang tak sebanding? Apakah masyarakat benar-benar memahami risikonya?
Kasus ini menunjukkan bahwa literasi digital masyarakat masih menjadi pekerjaan rumah besar, apalagi ketika teknologi global hadir tanpa disertai edukasi yang memadai.Â
Perlu ada kerjasama antara regulator, komunitas teknologi, dan akademisi untuk meninjau ulang bagaimana proyek seperti Worldcoin bisa diterapkan secara aman dan etis di Indonesia.
Worldcoin bukan sekadar proyek identitas digital, tetapi juga eksperimen sosial besar yang menguji kesadaran masyarakat terhadap data pribadi dan ekonomi digital.Â
Meski lahir dari visi global, ketika diimplementasikan di negara berkembang seperti Indonesia, pendekatannya harus jauh lebih hati-hati.Â
Apalagi ketika iming-iming insentif uang tunai mulai menutupi risiko jangka panjang. Legalitasnya masih belum jelas, dan perlindungan terhadap warga negara menjadi prioritas yang tidak boleh dilupakan.
Jika tidak, proyek futuristik ini justru bisa meninggalkan luka sosial dan digital yang panjang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI