Di tengah derasnya arus hiburan digital, sering kali kita membaca komentar berupa keluhan dari orang tua, “Anakku susah sekali diajak belajar.”
Tak jarang pula terdengar kalimat, “Dia lebih semangat nonton video daripada buka buku pelajaran.”
Realita ini bukan hanya terjadi di satu atau dua rumah, tetapi menjadi fenomena umum yang dialami banyak keluarga.
Anak-anak terlihat kehilangan semangat belajar, bahkan menganggap belajar sebagai sesuatu yang melelahkan, membosankan, dan tidak menyenangkan.
Namun, mari kita tarik napas sejenak dan bertanya, apakah kita sudah cukup menjelaskan kepada mereka, bahwa belajar bukan semata-mata soal nilai di rapor, tapi tentang mempersiapkan diri menghadapi dunia?
Dunia yang tidak akan memberi perlakuan khusus hanya karena seseorang pernah jadi juara kelas, tapi juga tidak akan memberi ampun jika seseorang datang tanpa bekal pengetahuan.
Mengubah Makna Belajar di Mata Anak
Sebagai orang tua atau pendamping tumbuh kembang anak, sudah seharusnya kita membantu anak memaknai ulang apa itu belajar.
Belajar bukan hanya duduk di depan meja, mencatat, dan menghafal. Belajar adalah proses memahami kehidupan, merespons persoalan dengan bijak, serta membentuk karakter yang tangguh.
Ketika anak merasa bahwa belajar hanya untuk ujian, maka wajar jika semangatnya cepat redup. Tapi saat ia tahu bahwa belajar adalah senjata untuk bertahan hidup, ia akan melihatnya dari sudut pandang yang berbeda.
Anak yang dipaksa belajar memang bisa terlihat tidak bahagia. Tapi anak yang tidak pernah didorong untuk belajar bisa jadi akan lebih terluka di kemudian hari.