Apakah Anda pernah menunggu seseorang yang katanya akan berubah, tapi ternyata tidak berubah juga? Atau mungkin menanti kepastian dari seseorang yang bahkan tidak yakin dengan dirinya sendiri?
Banyak orang terjebak dalam situasi ini. menunggu sesuatu yang tidak pasti dengan penuh harapan dan sedikit kebingungan.
Coba kita analogikan harapan itu seperti WiFi gratis di tempat umum. Kadang ada sinyalnya, tapi lemotnya luar biasa. Kita memilih untuk tetap bertahan karena berpikir, "Ah, sebentar lagi mungkin bakal lancar."
Begitu pula dengan harapan dalam hubungan atau keputusan hidup. Otak manusia dirancang untuk optimis, karena tanpa harapan, manusia tidak akan pernah maju.
Sayangnya, harapan ini sering kali membuat seseorang bertahan dalam situasi hubungan yang seharusnya sudah ditinggalkan.
Mengenali Efek Sunk Cost Fallacy: Sudah Terlanjur Investasi Waktu dan Emosi
Salah satu alasan utama kita bertahan dalam ketidakpastian adalah efek sunk cost fallacy. Ini adalah jebakan psikologis di mana seseorang merasa harus terus bertahan karena sudah menginvestasikan banyak hal: waktu, tenaga, maupun air mata.
Contohnya, “Saya sudah tiga tahun sabar menunggu dia sadar, lalu tiba-tiba saya menyerah? Sayang sekali.” Justru pola pikir seperti inilah yang membuat kita sulit untuk lepas.
Faktanya semakin lama bertahan di sesuatu yang tidak jelas, semakin banyak waktu dan energi Anda yang terbuang.
Faktor Sosial dan Komunikasi: Tekanan dari Lingkungan
Kadang, bukan seseorang yang tidak bisa move on, tetapi lingkungan sekitar yang membuatnya merasa harus bertahan.
Misalnya, komentar teman yang mempertanyakan keputusan untuk pergi setelah sekian lama bertahan. Atau nasihat keluarga yang mengarah ke pasrah total, seolah bertahan adalah satu-satunya pilihan yang benar. Tekanan sosial ini sering membuat seseorang takut terlihat gagal, padahal kegagalan bukan berarti akhir dari segalanya.
Selain itu, komunikasi juga berperan penting dalam menentukan apakah menunggu masih layak dilakukan. Jika komunikasi dalam hubungan tidak berjalan baik, sering terjadi kesalahpahaman, atau bahkan tidak ada kepastian yang diberikan, mungkin sudah saatnya mempertimbangkan kembali keputusan untuk bertahan.
Percakapan yang jujur dan terbuka bisa membantu menghindari harapan palsu yang hanya akan membuang-buang waktu.
Jadi, Kapan Harus Menunggu dan Kapan Harus Move On?
Menunggu boleh, asal ada progres.
Jika dalam waktu yang wajar tidak ada perkembangan, mungkin saatnya bertanya kepada diri sendiri, "Apakah saya masih di sini karena benar-benar ingin, atau hanya karena takut melepaskan?"
Jangan sampai terus-menerus menunggu seseorang yang bahkan tidak yakin apakah ia mau tetap berada dalam hidup kita atau tidak.
Move on bukan berarti menyerah, tetapi memilih untuk menginvestasikan waktu dan energi ke hal yang lebih pasti. Apabila sudah terlalu lelah menunggu, mungkin sudah waktunya beralih ke hal-hal yang bisa dikontrol, seperti kebahagiaan diri sendiri.
Lebih baik sibuk menikmati hidup sendiri daripada sibuk menunggu seseorang yang bahkan tidak menyadari keberadaan kita.
Pada akhirnya, hidup adalah tentang memilih. Bertahan atau pergi, entah menunggu atau melangkah maju, semua keputusan ada di tangan Anda. Yang terpenting, jangan biarkan diri terjebak dalam ketidakpastian yang hanya menguras waktu dan perasaan.
Bahkan situasi ini tidak hanya terjadi dalam hubungan romantis, tetapi juga dalam pertemanan. Terkadang, kita bertahan dalam pertemanan yang dulu terasa dekat, tetapi seiring waktu berubah menjadi toxic.
Jika hubungan tersebut lebih banyak membawa stres daripada kebahagiaan, mungkin sudah waktunya melepaskan. Jangan takut kehilangan seseorang yang tidak lagi memberikan dampak positif dalam hidup Anda, karena setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat dan mendukung.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI