Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Tuba Tua dan Rasa yang Tidak Ditentukan oleh Kemasan

10 Mei 2021   01:32 Diperbarui: 10 Mei 2021   02:00 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak ada orang yang menyukai kesengsaraan. Namun, banyak orang yang sudah merasakan kebenaran makna sebuah ungkapan, bahwa kesengsaraan menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan pengharapan.

Pengharapan sejatinya adalah sumbu asa semangat hidup, meskipun sering kali pengharapan tidak selalu dan selamanya seperti yang dibayangkan.

Pengharapan bisa berupa cita-cita akan sesuatu yang kita inginkan terjadi atas diri kita. Bisa juga terkait orang lain.

Menyadari bahwa kesenjangan antara pengharapan dan kenyataan adalah batasan yang membentuk makna kata masalah maka masalah adalah sesuatu yang tidak bisa tidak selalu harus kita hadapi dalam hidup. Dari sana kita bisa mengerti makna ungkapan "ampunkanlah kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami."

Sebab, baik diri kita maupun orang lain, tidak ada yang tidak pernah melakukan kesalahan. Sebagaimana kebutuhan akan makanan, melakukan kesalahan adalah bawaan lahir manusia. Kita hanya bisa berusaha mengendalikan tingkat kesalahan, tapi mungkin mustahil dihilangkan.

Ibarat makanan dan kemasannya, bisa dibilang bahwa pengharapan adalah kemasan, kenyataan adalah rasanya. Seringkali, rasa tidak ditentukan oleh tampilan kemasan.

Sebuah Analogi

Untuk menggali makna lebih dalam tentang hal ini dengan ilustrasi sederhana berciri kebendaan, kita bisa menggunakan sebuah ungkapan bahasa Latin dari Francis Bacon. Scientia potentia est, pengetahuan adalah kekuatan.

Pengetahuan adalah sumber kebijaksanaan. Untuk bisa tahu orang perlu belajar. Untuk bisa belajar orang perlu meyakini nilai kebenaran sebuah pengajaran.

Demikianlah kiranya filsafat ilmu yang dibangun dari premis-premis logis, hingga diyakini kebenarannya dan menjadi sebuah nilai atau pedoman hidup.

Di samping itu, ada pula ungkapan lain yang mengatakan bahwa "Takut akan Tuhan adalah permulaan hikmat dan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan."

Jika dan hanya jika ungkapan itu mengandung kebenaran, maka ungkapan yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah kekuatan menjadi kebenaran yang kokoh.

Siapakah yang lebih kuat dari Tuhan? Bila tidak ada yang lebih kuat, maka pengetahuan tentang Tuhan menjadi benar sebagai sumber kekuatan tertinggi. Bila ada yang lebih kuat, maka sepanjang umur peradaban yang masih bertahan, manusia mungkin sudah mengalami kehilangan besar dan terlalu lama menghabiskan sumber daya yang ada untuk kesia-siaan dalam hidupnya.

Buktinya, bukankah setiap orang dalam pencariannya akan kebajikan dan pengetahuan akan selalu tiba pada satu titik yang tidak terdefinisikan? Selalu ada tempat yang tak terjangkau dalam ilmu pengetahuan.

Semakin kita belajar, semakin kita menyadari bahwa masih terlalu banyak yang kita tidak tahu.

Oleh sebab itu, maka pada akhirnya orang akan kembali kepada pengakuan akan adanya sesuatu yang jauh lebih kuat dan berada di luar kemampuannya. Sesuatu yang tidak terjelaskan dengan segala kosa kata yang dikenal dan mampu kita ucapkan.

Tuba Tua dan Kencan Pertama

Benda yang ingin saya personifikasi dalam ilustrasi ini bernama tuba. Sebuah alat musik tiup berbahan kuningan dengan suara bass.

Saya mulai mengenalnya sejak duduk di kelas 2 SMP pada tahun 1997. Usia saya pada saat itu 14 tahun. Sudah kenal cinta monyet.

Tua tua (Dokpri)
Tua tua (Dokpri)

Bila saya ibaratkan, tuba yang usianya pada saat itu tak kurang 37 tahun sebagai sosok wanita idaman, maka itu adalah anomali. Ia mengalami penuaan dini, sebab kulitnya telah keriput. Ya, permukaan tuba itu telah peot disana sini.

Ia mungkin telah dicintai beratus laki-laki. Sebab, sekurangnya telah ada 9 generasi yang mewarisi alat musik yang satu ini sebelum jatuh dipelukanku selama 4 tahun hingga 2001.

Anomali berikutnya, justru karena banyaknya cinta dari banyak orang itu, membuatnya bisa tetap awet muda dalam penampilan fisiknya yang tua. Permukaan peot dan keriput disana sini tak lebih seperti riasan, yang menandakan perjalanannya yang sudah cukup panjang mengarungi hidup.

Ia tak kurang mewakili kejayaan seni musik peradaban Eropa. Lebih dari itu, ia juga menjadi saksi masa-masa awal kemandirian Gereja Batak Karo Protestan dalam bidang musik.

Setiap orang yang menghasilkan buah pemikiran untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi sesamanya, selalu mendapatkan tempat tanpa harus berlomba berebut tempat. Apalagi harus menyingkirkan sesama atau sebangsanya.

Pengharapan itulah yang membuatku buta akan kenyataan bahwa aku juga cukup sengsara saat harus menenteng alat itu dalam perjalanan pulang pergi sejauh 4 kilometer, dari rumah ke tempat berlatih, pulang pergi minimal seminggu sekali. Sebab perawakan alat ini lebih besar dari badanku sendiri.

Belum lagi risiko digodai oleh para remaja dan orang-orang dewasa sepanjang jalan yang aku lewati. Sebab agak janggal melihat "anak kecil" menggandeng gebetan yang lebih dewasa apalagi keriput dan sudah peot begitu.

Namun, kuyakinkan hati bahwa tampilan hanyalah kemasan luar. Kemasan tidak selalu menentukan rasa. Lagi pula, ketekunan akan mendatangkan tahan uji, dan tahan uji adalah sumbu asa harapan masa depan dari masa kecilku yang layak aku syukuri.

Terima kasih, Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun