Kami janjian. Besoknya, Jumat 18/12/2020, saya akan bertemu dengan bang Jahtra di penjual nasi uduk inspiratif itu pukul 7:45 wib. Rencananya saya akan membeli lima porsi nasi uduk, buat sarapan keluarga. Sekaligus membuka jalan untuk mewawancarai ibu penjual nasi uduk ini.
Oh ya, bukan maksud kami berkonspirasi, tapi begitulah perjuangan menjadi seorang jurnalis "warga" untuk bisa mendapatkan informasi dari narasumber berita. Cap yang sudah sedemikian "sulit" menjelaskannya, bila dikira wartawan di kampung ini. Padahal banyak wartawan yang baik, dan mencintai kemanusiaan.
Saya tidak berpretensi soal apapun terkait cap ini. Namun, ini penting menjadi refleksi bagi siapa pun yang merasa dirinya wartawan, profesional ataupun amatiran, seperti jurnalis warga kelas teri seperti saya.
Bahwa ujung pena kita (atau setidaknya ujung jari kita) perlu kita pakaikan untuk memberikan rasa nyaman bagi yang berhak, dan rasa resah bagi yang pantas saja mendapatkannya. Jangan matikan kemanusiaan dengan tulisan kita.
Tiba waktunya, jam menunjukkan pukul 7:46 wib. Kulihat belum ada pesan whatspp yang masuk dari bang Jahtra. Mungkin dia masih tertidur, pikirku. Hari ini sangat dingin di dalam apalagi di luar rumah. Desember yang dingin.
Selesai membalas beberapa komentar pada artikel saya di Kompasiana, saya pun bergegas menjumpai bu Novi. "Tunggu saya Bu, saya terlambat, sisakan beberapa bungkus saja," batinku.
Sampai di lokasi, kulihat sudah ada beberapa pembeli di "kios" nasi uduk ibu Novi yang ternyata hanya bagian belakang mobilnya, yang dipasangi spanduk kecil itu. Spanduk itu sekaligus sebagai kanopi. Semoga saja ada wawancara, meskipun sebentar pikirku. Saya pertama kali belanja di sini.
"Bungkus sarapan paginya, ya Bu", kataku selembut mungkin. Dengan masker ini, bau nafas akibat belum sikat gigi mungkin masih bisa ditoleransi.
"Sebentar ya, Bang" katanya singkat dan mantap. Dia masih meladeni seorang anak kecil.
"Ibu, saya tahu tempat ini dari seorang rekan kerja saya. Dia tinggal di sekitar sini," kataku lagi, setelah anak kecil itu pergi dengan pesanannya.
"Oh, ya. Abang kerja di mana?" tanya ibu ini.
"Di kantor bupati, ibu" jawabku.
"Ini tinggal nasi uduk saja adanya, Bang," katanya lagi.
"Tidak masalah, Bu. Buat lima bungkus ya," kataku agak lega karena ibu ini adalah narasumber yang baik.
Benar kata bang Jahtra. Dia mungkin memang sosok yang inspiratif.
Sambil dia membungkus pesanan saya, mulailah kami bertanya jawab, dalam dinginnya pagi itu.
Ibu Novi, berjualan nasi uduk sudah sekitar enam atau tujuh bulan ini. Jelas setelah mulainya masa pandemi covid-19 pada bulan Maret yang lalu. Dia tidak mengingat kapan persisnya. Barangkali karena sudah sedemikian banyak hal yang harus dipikirkan dalam hidup di masa kiwari, selain dari hari kelahiran pribadi, ulang tahun perkawinan, apalagi hari lahir sebuah usaha.