Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pengalaman Masa Kecil di Kampung, Hitam Tidak Mesti Suram

26 Juni 2020   23:07 Diperbarui: 27 Juni 2020   00:45 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi menanak nasi di tungku kayu bakar (Dokumentasi Pribadi)

Kampung halaman adalah sebuah tempat yang selamanya kepadanya kita akan terkenang. 

Kenangan masa kecil di kampung, ketika enak tidur karena badan capai, oleh sebab ke ladang sepulang sekolah. Sore hari sepulang dari ladang, masih harus memberi makan ternak. Kemudian mengambil kayu bakar, lalu masih harus memasak, buat makan malam.

Memasak bukan di kompor, melainkan di atas tungku kayu bakar. Menanak nasi dengan periuk. Itu bukan sebuah perkara yang segampang sekarang, dimana beras tinggal ditanak dan bisa ditinggal sampai masak di dalam magic jar.

Memasak di tungku kayu bakar (Dokpri)
Memasak di tungku kayu bakar (Dokpri)
Menanak nasi dengan periuk perlu keahlian lebih dalam menakar air dan keahlian menggunakan "ukat". Ukat adalah semacam centong dari bambu dengan fungsi ganda di kedua ujungnya. Ujung yang satu untuk menguras air dan menyendok nasi dari dalam periuk, ujung yang satu lagi untuk mengaduk atau meratakan beras yang ditanak.

dokpri
dokpri
Beras yang dimasak adalah beras dari hasil panen padi yang ditanam sendiri di sawah atau di ladang. Hmmm....wangi dan sangat pulen, enak untuk dimakan, bahkan tanpa lauk, apalagi pada saat masih hangat.

Setelah nasi ditanak, baru mandi membersihkan diri. Makan malam adalah hiburan terbesar bagi seorang anak kampung, setidaknya menurut pengalaman saya, setelah seorang anak seharian lelah belajar dan bekerja.

Setelah makan malam yang nikmat itu, kakek atau nenek akan mendongengkan sebuah cerita. Di kampung kami, disebutlah itu dengan "nuri-nuri". "Turi-turin" adalah sebutan suku Karo untuk dongeng atau cerita rakyat turun-temurun yang biasanya sangat panjang. Mungkin itu adalah cara cerdik para orang tua dulu untuk membuat anak-anak mereka cepat tertidur.

Bila kakek "nuri-nuri", maka nenek akan "ber-didong", dan sebaliknya. "Didong" adalah semacam cerita pengantar tidur dalam bentuk senandung yang dinyanyikan dengan cengkok khas, biasanya dalam pergantian antar larik dalam bait lagu.

Tidak perlu waktu lama, biasanya anak kampung, pada waktu dulu itu, akan segera berangkat tidur diantar cerita dan nyanyian dari masa yang sudah sangat tua itu. Itu adalah masa-masa di mana anak kampung menjemput mimpi-mimpinya ditemani suara jangkrik yang mengimbangi suara kakek dan neneknya.

Begitulah cerita di sebuah kampung pada suatu waktu di masa lalu, di bawah kaki gunung. Sungguh kehidupan seperti itu sama sekali bukan gambaran yang suram, sekalipun orang-orangnya seperti baru saja kesiram tinta.

Krik...krik....krikk..zzzzzzzz

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun