Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Cimpa Matah, Sesuatu yang Tidak Dimasak namun Tidak Pernah Basi

13 April 2020   23:42 Diperbarui: 17 April 2020   21:20 2715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cimpa Matah di dalam Sumpit (Dokumentasi Pribadi)

Cimpa Matah yang sudah jadi (Dokumentasi Pribadi)
Cimpa Matah yang sudah jadi (Dokumentasi Pribadi)
Lebih bagus lagi, Cimpa Matah yang sudah jadi itu disimpan di dalam sumpit. Itu adalah wadah penyimpanan berupa anyaman pandan, yang biasa dipakai masyarakat di sini untuk menyimpan makanan.

Uniknya, makanan yang disimpan di sumpit, selain aromanya wangi, tidak mudah basi, juga menjaga tetap hangat. Namun, penganan ini sendiri memang sudah cukup unik dengan sendirinya.

Barangkali karena terbuat dari bahan-bahan yang tidak dimasak sama sekali, kecuali gula merah sendiri, penganan ini memang tidak mudah basi. Gula merah sendiri, sebenarnya terbuat dari air nira yang disublimasi dengan memasaknya selama berjam-jam.

Dimasak menggunakan kuali dan dengan tungku yang besar, memasak gula merah berarti melibatkan kayu bakar dalam jumlah yang cukup besar, karena dimasak selama berjam-jam. Sementara itu, air nira yang menjadi bahannya bukanlah sesuatu yang mudah mendapatkannya.

Ada sebuah pepatah dalam bahasa Karo yang menunjukkan bahwa memperoleh air nira butuh sebuah perjuangan. Bunyi peribaha itu, "Bagi sinimai tak-tak lau pola". Kalau diterjemahkan bebas, maksudnya "Seperti menanti tetesan air nira". Artinya butuh kesabaran dan ketekunan yang tahan lama.

Penekanan pada penjelasan tentang asal muasal air nira ini adalah sebagai sebuah jaminan, yang mungkin menjadi salah satu dasar logis mengapa penganan mentah ini bisa matang tanpa dimasak dan tidak membuat sakit perut saat memakannya.

Penganan ini biasa dibuat pada acara-acara adat di suku Karo, antara lain acara adat dan syukuran tujuh bulanan perempuan yang akan melahirkan, acara adat dan syukuran memasuki rumah baru, dan sebagainya. Namun, penganan ini bisa juga dibuat walaupun tidak ada momen khusus. Hanya untuk sekadar dinikmati bila menginginkannya begitu.

Bagi saya pribadi, ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari proses membuat penganan ini. Orang suku Karo sendiri memang dikenal sebagai orang-orang dengan karakter keras dan lembut pada saat yang sama.

Itu sama dengan penganan ini. Tekstur makanan ini sendiri memang lembut. Tapi itu berasal dari proses pembuatan yang cukup keras.

Menumbuk, mengayak, menumbuk lagi dan mengayak lagi. Untuk bahan-bahan seukuran yang saya sampaikan di awal tadi bisa menempuh proses tumbuk dan ayak sekitar dua puluh kali berulang-ulang.

Tampilannya memang kurang menarik bila dibandingkan dengan Dalgona Coffee. Namun, soal rasa tidak kalah dan punya cita rasa tersendiri. Oleh sebab itu, menjadi benar sekali lagi dalam hal ini, bahwa kulit dan kemasan tidak dijamin menentukan isi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun