Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"The Wife", Sebuah Pesan Klasik di Balik Perlunya Pengakuan dalam Dunia Kepenulisan

5 November 2019   12:18 Diperbarui: 9 November 2019   18:43 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." 

Itu adalah sepenggal kalimat dari Minke, yang dituliskan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Anak Semua Bangsa, sebagai sebuah pernyataan kesadaran bahwa menulis adalah sebuah bakat dan juga panggilan hidup.

Menguji aspek keabadian pekerjaan menulis sebagai bakat dan panggilan hidup, misalnya dapat kita lihat dalam maksud dan tujuan menulis dalam rangka memberikan pembelaan bagi mereka yang menderita dan dalam melawan ketidakadilan.

Bila menulis memang bekerja untuk keabadian, barang kali itu adalah karena penderitaan dan ketidakadilan juga abadi dalam kehidupan. Barangkali pendapat itu memang menjadi ada benarnya. Sepanjang masih ada kehidupan, akan selalu ada penderitaan dan ketidakadilan.

Tentu saja kehidupan akhirat, kehidupan surga, tidak termasuk dalam hal ini, karena menjadi tidak relevan untuk dibahas berkaitan dengan penderitaan dan ketidakadilan yang nyata dalam realita, tapi tidak di surga. Cukuplah itu sebagai tujuan, dan urusan masing-masing setiap orang.

Namun, realitanya, dalam perjalanan karir kepenulisan Minke baik di koran yang berbahasa Belanda hingga yang berbahasa Melayu kerap dan tetap mendapat dukungan.

Adalah Nyai Ontosoroh, ibu mertuanya sendiri yang akhirnya mendukung agar Minke tampil sebagai orator. Itu adalah orang yang bersuara dengan mulutnya, bukan saja dengan tulisannya, di depan musuh-musuhnya, para penjajah. 

Sebab kata Nyai, "Dia tidak akan membaca tulisanmu, tapi dia harus mendengarkan suaramu. Orang rakus harta benda, selamanya tak pernah membaca cerita, orang tak berperadaban. Dia tidak akan pernah perhatikan nasib orang. Apalagi orang yang hanya dalam cerita tertulis." 

Apakah ini berarti bahwa menulis menjadi kerja keabadian hanya bila ia dibaca, bukan sekadar menulis untuk tulisan itu sendiri? Sebab apakah gunanya menulis bila tidak ada yang membaca dan memperhatikannya?

Tulisan-tulisan Minke yang banyak menceritakan soal penderitaan dan kesuraman dalam ketidakadilan, dalam nuansa propaganda untuk mengajak rakyat pribumi menentang ketidakadilan dan membela mereka yang menderita, dipandang oleh Tuan Kommer lebih terasa sebagai pidato, dan pidato dalam tulisan adalah seburuk-buruknya tulisan menurut Tuan Kommer.

Ia adalah seorang jurnalis Indo-Belanda yang mencintai Hindia Belanda, tanah kelahirannya, meskipun namanya terasa khas Belanda.

Apa hubungan tulisan, cinta dan kesetaraan?

Menghubungkan kisah Nyai Ontosoroh, Minke, Tuan Kommer, dengan tulisan atau pekerjaan menulis dalam Anak Semua Bangsa karangan Pramoedya, mungkin yang akan langsung terlintas dalam benak kita adalah isu-isu seputar kesetaraan, gender, di samping kecintaan atas bakat dan panggilan.

Setidaknya, sehubungan dengan isu kesetaraan, gender, bakat dan panggilan dalam kaitannya dengan menulis, barangkali ada pelajaran yang sangat baik bila dihubungkan dengan sebuah film produksi tahun 2017 dengan judul yang sama yang diadaptasi dari sebuah novel berjudul "The Wife."

Walaupun The Wife yang merupakan kisah fiksi tentu saja berbeda dengan novel Anak Semua Bangsa, yang walaupun dalam bentuk novel, itu adalah kisah roman sejarah yang menceritakan fakta-fakta sejarah yang tidak terungkap dari masa lalu, dengan menggunakan sudut pandang yang berbeda dari sejarah yang umumnya didominasi oleh pihak yang menang dan berkuasa. 

Sementara itu, The Wife adalah kisah fiksi yang menceritakan sisi kelam di balik keagungan karya kepenulisan berkelas nobel, yang terselip dalam kisah hubungan asmara suami istri; diiringi perselingkungan dan dijalani dalam pengabdian total, meskipun pada akhirnya manusia tetaplah manusia, yang selalu dan selamanya membutuhkan sebuah pengakuan, sekuat apapun ia mencoba mengekangnya.

Film itu bercerita tentang Joseph Castleman, seorang profesor muda dan ganteng, yang sudah menikah dengan seorang istri bernama Carol, dan memiliki seorang bayi perempuan bernama Fanny.

Joseph yang dipanggil Joe, adalah guru besar yang mengajar di kelas sastra. Di mana ia akhirnya bertemu dengan mahasiswi yang cantik bernama Joane Archer. 

Walaupun pada awalnya Joe mungkin mengagumi dan jatuh hati pada bakat menulis Joane yang mengagumkan, dalam perjalanan selanjutnya tak bisa dihindari lagi, dengan sikap Joe yang narsistik dan flamboyan, Joe pun jatuh cinta pada diri pribadi dan terlibat perselingkuhan dengan Joane. Joe bercerai dengan Carol.

Dalam kelas-kelas kuliah Joe, Joane sangat dipengaruhi oleh rasa kagum dan jatuh cintanya kepada Joe. Ia meyakini pandangan Joe yang mengatakan bahwa penulis harus menulis.

Menurut Joe, keharusan seorang penulis untuk menulis sama seperti kebutuhan manusia hidup untuk bernafas, tidak bernafas berarti mati. Penulis yang tidak menulis pada dasarnya mati, begitulah barangkali. 

Lagi sambung Joe, bahwa penulis membuat tulisan bukan agar tulisannya diterbitkan, tapi karena ada hal penting yang harus dia ungkapkan. Sekalipun untuk itu, ia akan dicemooh oleh orang-orang atau bahkan dibenci oleh istri sendiri, yang sering mempertanyakan kepada suaminya yang penulis begini, "Mengapa kau tidak mencoba mengerjakan pekerjaan yang lebih berguna?"

Pendapat itu menarik hati Joane, walaupun dari sudut gender seolah menempatkan bahwa di rumah tangga, laki-lakilah yang menulis dan istri merepet.

Hingga suatu ketika, dalam sebuah acara, Joane diperkenalkan oleh Joe kepada Elaine, seorang penulis wanita. Ia memperkenalkan dirinya sebagai wanita yang menulis prosa yang tidak laku, hanya terjual 1.000 eksemplar, itupun dibeli oleh keluarganya sendiri yang dia bayar mahal untuk membeli bukunya.

Elaine berbeda dengan Joe. Bila Joe percaya bahwa penulis harus menulis, Elaine percaya bahwa penulis harus dibaca. 

Fakta bahwa pada masa itu para pemilik dan yang menjalankan usaha penerbitan adalah para pria, termasuk para editor juga adalah para pria, adalah fakta yang digugat oleh Elaine sebagai hal yang membuat bahwa kaum wanita seolah tidak akan pernah mendapat pengakuan dan tempat sebagai seorang penulis. 

Paling-paling, kalaupun dia sempat menerbitkan buku, itu hanya akan menjadi buku yang disimpan di rak buku alumni, yang bila dibuka halaman-halamannya akan mengelurkan bunyi seperti kertas sobek, tanda bahwa buku itu tidak pernah dibuka apalagi dibaca.

Itu adalah sebuah pernyataan sarkastik, yang dalam kadar tertentu bila disejajarkan dengan pendapat Nyai Ontosoroh yang disampaikannya kepada Minke akan mendapatkan irisan-irisan pada nilai-nilai tertentu. 

Baik dalam aspek kesetaraan maupun isu tentang gender, buku dan tulisan memang sering juga menjadi simbol api pengetahuan yang seolah didominasi oleh kaum lelaki yang dianggap superior terhadap wanita dalam banyak budaya, sekaligus juga mengandung ironi karena justru sering kali pula bahwa para pria juga lah yang kebanyakan menjadi golongan yang paling sering mengabaikan nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah buku atau tulisan. 

Laki-laki dalam dominasi superioritasnya terhadap wanita justru seperti kata Nyai "tidak akan membaca tulisan, hanya sekadar menjadi rakus akan harta benda, selamanya tak pernah membaca cerita, seperti orang yang tidak berperadaban, sebab dia tidak akan pernah perhatikan nasib orang, apalagi orang yang hanya ada dalam cerita tertulis."

Secara metaforis, pernyataan Nyai dalam konteks kekinian, walaupun tidak terbatas dalam relasi gender, bahwa simbolisasi pria dan wanita untuk menjelaskan hubungan antara pihak yang berkuasa dengan pihak yang tertindas, sering kali membuat seolah-olah memang hanya mereka yang dipandang unggul dan dicap pantas yang dirasa cocok untuk menulis, tapi tidak untuk mereka yang lemah, barangkali karena miskin dan bodoh, padahal semua orang punya cerita. 

Bahkan sering kali, mereka yang dipandang tidak unggul dan tidak pantas, karena barangkali dicap miskin dan bodoh, justru memiliki cerita yang lebih hidup.

Mungkinkah ini terjadi karena pada dasarnya menulis memang adalah bekerja untuk keabadian. Sama halnya dengan penderitaan dan ketidakadilan yang abadi dalam hidup, bersama-sama, mengakibatkan atau entah diakibatkan oleh kemiskinan dan kebodohan.

Itu adalah kenyataan yang dihadapi oleh Joane dalam perjalanan hidup dan cintanya dengan Joe. Sebagaimana Joane merasa sesak setelah membaca draft novel "The Walnut" yang dituliskan oleh Joe pada 1960.

Ia memberikan waktu kepada Joane untuk membaca draft itu, hingga menghabiskan lima gelas espresso, dan satu setengah bungkus rokok di Harlem, New York. 

Setelahnya, Joe mendapat kritik keras dari Joane, mantan mahasiswi yang kini menjadi istrinya, yang mengatakan bahwa Joe tidak akan mendapatkan apa-apa dengan naskah itu, dialognya sangat kaku.

Tentu saja, mendapatkan kritik ini, Joe sangat marah dan menuduh Joane tidak menghormati dirinya. Tentu saja harga dirinya terganggu, sebagai seorang guru besar sastra yang ganteng, narsis dan flamboyan, mendapat kritik dari mantan mahasiswi yang dulunya sudah akan berbunga-bunga meskipun hanya sekadar mendapat pujian kecil darinya, sungguh ia tidak terima.

Namun, memang tidak bisa dipungkiri. Menulis sebagai pekerjaan keabadian, bukanlah hak khusus yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang dianggap lebih pantas dan lebih layak di masyarakat, meskipun itu memang berhubungan dengan bakat dan panggilan hati. 

Justru kembali ke nilai awal yang diyakini Joe, bahwa penulis perlu menulis bukan agar tulisannya diterbitkan, tapi karena ada hal penting yang harus dia ungkapkan. Itu nilai yang penting dimiliki penulis sekalipun faktanya, Joe sendiri merasa sangat penting agar naskah tulisannya bisa diterbitkan.

Begitulah Joane, meskipun sadar bahwa nilai yang ada, termasuk rasa cintanya, membuatnya takluk pada keadaan dengan mengorbankan penilaian dan penghargaan akan  bakat menulisnya sendiri, agar dengan begitu Joe lah yang menjadi besar dan terkenal. 

Padahal, Joane lah yang menjadi penulis, sementara Joe lebih banyak berperan sebagai editor atas naskah yang "mereka" tulis. Bakat dan penilaian yang brilian Joane atas hal-hal yang dia tulis, mengantarkan Joe pada akhirnya diundang ke Stockholm, Swedia, untuk menerima hadiah nobel pada bidang literatur.

Dan begitulah, entah karena termakan oleh bujuk rayu dari Nathaniel Bone, seorang penulis yang berkeinginan menulis biografi Joseph Castleman, tapi dari sisi yang sebaliknya, lebih banyak ingin membuka kebenaran di balik nama besar Joe yang dipandang berkelas nobel.

Padahal pengakuan itu sebenarnya lebih pantas menjadi milik Joane, istrinya, yang dipuji oleh Nathaniel atas tulisannya berjudul "The Faculty Wife" yang dia temukan terselip di arsip jurnal kampus, dan selama ini merupakan penulis sebenarnya yang berada di balik karya-karya agungnya.

Joane pada akhirnya tetaplah hanya seorang manusia, yang juga membutuhkan sebuah pengakuan, sekuat apapun ia mencoba mengekangnya.

Mereka terlibat dalam pertangkaran hebat sesaat setelah Joe menyampaikan sambutannya sebagai penerima nobel, tanpa sanggup menunggu acara jamuan selesai.

Joane merasa muak dan tidak sanggup lagi hanya dijadikan seorang istri yang selalu diperkenalkan Joe sebagai hal yang disyukurinya, karena istrinya tidak suka menulis. 

Padahal menurut Joane, dirinya lah yang mengubah segala skandal, sikap buruk, egoisme dan sikap narsistik Joe menjadi karya agung lewat buku-bukunya yang dikenal sebagai karya Joe. Joe menerima manfaat terbesar dari buku-buku tulisan Joane, yang menulis dalam pengorbanan dan penyangkalan diri yang hebat.

Hal ini disangkal Joe sebagai hal lumrah dilakukan oleh suami di mana-mana, katanya "Bukankah semua suami berterima kasih kepada istrinya?" Namun, Joane menganggap ucapan terimakasih Joe tidak lebih sebagai kamuflase yang justru hanya terasa sebagai mengolok-olok dirinya dan tidak lain hanya bagian dari caranya untuk memperoleh pujian bagi dirinya sendiri. Drama ini berkahir, ketika Joe meninggal di atas kasur setelah terkena serangan jantung.

Dalam pesawat penerbangan pulang, Nathaniel yang meminta waktu untuk berbincang dengan Joane, dalam ambisinya untuk menuliskan buku biografi Joseph Castleman, diminta oleh Joane agar menarik semua pikirannya yang menganggap bahwa Joe tidak layak, menarik setiap pikiran yang meragukan soal kepakaran dan bakat Joe. 

Dan begitulah, di samping kekaguman atas bakat yang memukau dan dipersatukan oleh kesamaan panggilan, dalam segala pertentangan yang timbul akibat desakan tuntutan atas sebuah pengakuan, manusia masih tetap bisa saling menerima dan memaafkan didasari rasa cinta dan kasih sayang.

Bahwa pada awalnya, Joe dan Joane saling jatuh cinta karena kekaguman kepada bakat dan pribadi masing-masing, melalui tulisan, sebenarnya itu adalah motif terbesar yang mendorong produktifitas menulis mereka. 

Bahkan, Carol, yang merasa tidak nyaman dengan kehadiran Joane di keluarganya pada saat Carol masih merupakan istri Joe, mengakui bahwa tulisan Joe semakin baik sejak kehadiran Joane.

Jadi, di luar semua apresiasi yang mungkin akan timbul atas tulisan-tulisan yang kita buat, teruslah menulis, karena menulis adalah bekerja untuk keabadian.

Walaupun sempat pernah berpikir untuk berhenti, tapi belajar dari kisah ini, para penulis akan selalu menemukan alasan bahwa ada atau tidak ada pengakuan, mereka akan terus menulis, entah digerakkan oleh kecintaan atas bakat atau karena panggilan, atau karena hal lain yang bukan kedua-duanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun