Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"The Wife", Sebuah Pesan Klasik di Balik Perlunya Pengakuan dalam Dunia Kepenulisan

5 November 2019   12:18 Diperbarui: 9 November 2019   18:43 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendapat itu menarik hati Joane, walaupun dari sudut gender seolah menempatkan bahwa di rumah tangga, laki-lakilah yang menulis dan istri merepet.

Hingga suatu ketika, dalam sebuah acara, Joane diperkenalkan oleh Joe kepada Elaine, seorang penulis wanita. Ia memperkenalkan dirinya sebagai wanita yang menulis prosa yang tidak laku, hanya terjual 1.000 eksemplar, itupun dibeli oleh keluarganya sendiri yang dia bayar mahal untuk membeli bukunya.

Elaine berbeda dengan Joe. Bila Joe percaya bahwa penulis harus menulis, Elaine percaya bahwa penulis harus dibaca. 

Fakta bahwa pada masa itu para pemilik dan yang menjalankan usaha penerbitan adalah para pria, termasuk para editor juga adalah para pria, adalah fakta yang digugat oleh Elaine sebagai hal yang membuat bahwa kaum wanita seolah tidak akan pernah mendapat pengakuan dan tempat sebagai seorang penulis. 

Paling-paling, kalaupun dia sempat menerbitkan buku, itu hanya akan menjadi buku yang disimpan di rak buku alumni, yang bila dibuka halaman-halamannya akan mengelurkan bunyi seperti kertas sobek, tanda bahwa buku itu tidak pernah dibuka apalagi dibaca.

Itu adalah sebuah pernyataan sarkastik, yang dalam kadar tertentu bila disejajarkan dengan pendapat Nyai Ontosoroh yang disampaikannya kepada Minke akan mendapatkan irisan-irisan pada nilai-nilai tertentu. 

Baik dalam aspek kesetaraan maupun isu tentang gender, buku dan tulisan memang sering juga menjadi simbol api pengetahuan yang seolah didominasi oleh kaum lelaki yang dianggap superior terhadap wanita dalam banyak budaya, sekaligus juga mengandung ironi karena justru sering kali pula bahwa para pria juga lah yang kebanyakan menjadi golongan yang paling sering mengabaikan nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah buku atau tulisan. 

Laki-laki dalam dominasi superioritasnya terhadap wanita justru seperti kata Nyai "tidak akan membaca tulisan, hanya sekadar menjadi rakus akan harta benda, selamanya tak pernah membaca cerita, seperti orang yang tidak berperadaban, sebab dia tidak akan pernah perhatikan nasib orang, apalagi orang yang hanya ada dalam cerita tertulis."

Secara metaforis, pernyataan Nyai dalam konteks kekinian, walaupun tidak terbatas dalam relasi gender, bahwa simbolisasi pria dan wanita untuk menjelaskan hubungan antara pihak yang berkuasa dengan pihak yang tertindas, sering kali membuat seolah-olah memang hanya mereka yang dipandang unggul dan dicap pantas yang dirasa cocok untuk menulis, tapi tidak untuk mereka yang lemah, barangkali karena miskin dan bodoh, padahal semua orang punya cerita. 

Bahkan sering kali, mereka yang dipandang tidak unggul dan tidak pantas, karena barangkali dicap miskin dan bodoh, justru memiliki cerita yang lebih hidup.

Mungkinkah ini terjadi karena pada dasarnya menulis memang adalah bekerja untuk keabadian. Sama halnya dengan penderitaan dan ketidakadilan yang abadi dalam hidup, bersama-sama, mengakibatkan atau entah diakibatkan oleh kemiskinan dan kebodohan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun