Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dari Semangkuk Salad, Terlalu Banyak yang Kulihat, tapi Terlalu Sedikit yang Bisa Kuberikan

14 Mei 2019   17:29 Diperbarui: 14 Mei 2019   20:59 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Semangkuk salad (dokpri)

Mirna             :     "Bang, apa kabar? Ini aku Mirna. Aku jualan salad buah. Kalau abang berminat pesan ke aku ya bang. Aku bisa antar ke tempat."
Tarno             :     "Oh, kabar baik. Berapa harganya dek?"
Mirna             :     "Dari 20-70 ribu bang. Tergantung size bang."
Tarno             :     "Kapan bisa diantar dek? Aku mau coba dulu yang harga 30 ribu boleh? Kalau enak, aku pesan lagi nanti."
Mirna             :     "Boleh bang."
Tarno             :     "Kalau bisa diantar ke kantor ya, mana tahu ada juga diantara kawan di kantor yang nanti mau beli dek?"
Mirna             :     "Oh, aku ada ngantar pesanan ke arah kantor abang juga jam 12 nanti bang. Mau sekalian aku antar pesanannya? Harga 30 ribu nggak ada. Yang 400 mili liter harganya 20 ribu, yang 750 mili liter harganya 35 ribu."
Tarno             :     "Oke, Aku pesan yang 35 ribu ya."
Mirna             :     "Oke, ditunggu ya."

Tarno menutup telefonnya dan mencoba mengingat-ingat, Mirna saudara sepupunya yang sebenarnya tidak terlalu sering ditemuinya. Ia tidak tahu betul, Mirna sepupunya itu sekarang tinggal dimana dan bekerja sebagai apa.

Di depannya sudah terbuka sajian nasi bungkus untuk makan siangnya, ia mulai melahap makan siang sambil menunggu salad pesanannya. Cocok buat makanan pencuci mulut nanti, pikirnya. Tarno adalah seorang Pegawai Negeri Sipil.

Mirna adalah seorang gadis belia. Baru lulus dari perguruan tinggi. Dulunya dia adalah siswi di sekolah kejuruan. Pernah magang di tempat Tarno bertugas sekarang, jauh sebelum Tarno bekerja di kantor pemerintah itu.

Selang waktu berjalan, belum sempat Tarno melahap habis makan siangnya, Mirna sampai di kantornya.

Mirna             :     "Bang, apa kabar? ini pesanannya."
Tarno             :     "Oh, kabar baik. Ini kamu yang buat ya?"
Kata Tarno sambil meraih salad yang sudah dibungkus rapi dalam kemasan plastik yang disodorkan Mirna.
Mirna             :     "Ya, bang, itu aku yang buat."
Tarno             :     "Wah, mantap nih. Baguslah kamu bisa bikin usaha salad sendiri. Lebih bagus daripada jadi pegawai." 
Mirna             :     "Hehehe."
Tarno             :     "Ini uangnya." Kata Tarno, sambil menyodorkan uang 50 ribu rupiah.
Mirna             :     "Oh, bentar ya bang. Ini kembaliannya." Mirna memberi kembalian uang 15 ribu rupiah.
Tarno             :     "Ah, sudah. Itu buat kamu saja. Ganti ongkos antarnya."
Mirna             :     "Oh, jangan bang. Harganya udah fix, 35. Nanti kalau gini caranya abang nggak mau pesan lagi."
Tarno             :     "Oh, begitu ya. Okelah, kamu kalau jualan ya memang harus profesional gitu. Biar lekas maju."
Kata Tarno, tersenyum melihat sepupunya yang tampak berlaku tegas sebagai penjual salad, bukan sebagai seorang keluarga. Business is business, begitu barangkali ringkas dan sederhananya cara bicara Mirna.
Mirna             :     "Oke, sekarang pegang saladnya bang. Saya mau ambil fotomu. Barang kali ada temanmu yang ikutan tertarik membelinya setelah tahu kamu membeli salad ini. He.."
Maka, Tarno pun berlagak sebaik mungkin memegang kemasan saladnya, berfoto sambil mengacungkan jempolnya.
Mirna             :     "Oke, terimakasih ya sudah pesan saladnya. Besok kalau masih mau pesan, hubungi saja lagi ya."
Tarno             :     "Oke, baik kalau begitu. Terimakasih ya."

Mirna pun beranjak meninggalkan kantor dan menyapa ramah pegawai lain yang bersisihan dengannya di pintu keluar kantor. Tarno kembali ke nasi bungkusnya. Ia mulai makan lagi sambil memperhatikan salad dalam kemasan yang baru dibelinya, dari sepupunya.

Bukan karena ada hal menyedihkan yang terjadi dalam adegan singkat itu, tapi Tarno memakan sisa makan siangnya dengan mata berkaca-kaca. Perlahan air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia terkenang ke masa-masa sebelumnya.

Ia tahu, kalau Mirna sepupunya adalah anak bungsu dari beberapa orang bersaudara yang dibesarkan dengan penuh perjuangan oleh orang tuanya. Bukan perjuangan yang mudah. Karena ayah ibu Mirna, yang adalah paman dan bibi Tarno, bukanlah lulusan sarjana, bahkan tamat SMA pun tidak. Mereka berdua adalah suami istri yang dibentuk oleh keras kehidupan. Sesekali bibinya terbaring sakit, tapi mereka memiliki hati seteguh baja, melintasi kesukaran demi kesukaran, ironi demi ironi, demi membesarkan anak-anaknya. Dan tidak hanya itu, mereka menyekolahkan Mirna anaknya hingga menjadi sarjana.

Hari ini dia menemukan sepupunya sudah dibentuk oleh waktu. Mirna si penjual salad, menjual saladnya dengan mental manajer, bukan mental pegawai. Ia tidak menerima tip, bukan karena ia tidak membutuhkan uang. Ia lebih mementingkan saladnya laku di hari berikutnya, ketimbang terjual dengan harga lebih, tapi hanya untuk satu hari.

Mungkin banyak sekali orang yang memiliki pekerjaan yang seolah lebih penting dan lebih besar dari hanya sekadar penjual salad, tapi dikerjakan dengan hati yang kerdil. Tidak peduli apapun yang terjadi dan apapun hasilnya nanti, toh untung ruginya bukan dia yang menanggungnya. Ia akan tetap rela datang pagi dan pulang sore, sepanjang "kerelaannya" diganjar sejumlah uang setiap bulannya. Begitulah mental pegawai.

Tarno menatap mangkok saladnya, yang berisi beragam buah sebagaimana adanya buah. Ada buah anggur, pepaya, nenas, apel, melon, dan sebagainya yang diiris kecil-kecil, tapi masih terlihat sebagai buah dengan baluran mayones dan keju tanpa gula.

Tarno tanpa sadar menatap saladnya dengan sebagian makan siang yang masih ada di mulutnya dan air mata yang sudah menghangati kedua pipinya. Barangkali kalau ada pegawai yang mendapatinya di ruangannya seperti saat itu, akan menganggap kalau Tarno sedang merasa kehilangan karena kepergian anggota kerabatnya.

Tarno bukan sedang memikirkan konsep melting pot atau salad bowl sebagai seorang PNS, dalam memandang masalah multikulturisme, yang selalu menjadi persoalan di bangsanya, bukan. Ia hanya sedang dilanda melting, melow tingkat tinggi, melalui semangkok salad. Dari semangkok salad, ia memandang dirinya yang belum melakukan apa-apa, bahkan hanya untuk keluarga, jangankan bangsa.

Di saat yang sama, seorang gadis belia yang dibesarkan dengan penuh perjuangan kedua orang tua dengan tidak mudah, seolah sudah kebal terhadap perasaan sentimentil demi menantang hidup yang keras. Ras manusia yang katanya berciri khas altruistik dan punya bakat filantropis, sehingga oleh karenanya mampu mendahulukan kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri, bisa saja sebenarnya hanya didorong oleh motif kepentingan pribadinya.

Kalaupun ternyata manusia mampu menunda kepentingan pribadinya hanya toh untuk memberi kesempatan bagi dirinya agar terlihat sebagai manusia yang paling manusiawi, bukankah itu bermakna demi kepentingan diri sendiri?

Tarno beralih dari nasi bungkusnya menuju semangkok salad yang tampak seperti sedang ditangisinya. Ia mulai menyendok satu persatu irisan buah itu ke mulutnya dengan mayones yang menetes-netes di pinggir sudut bibirnya. Ia memakannya dengan titik air mata.

"Begitu banyak penderitaan yang datang menghampiri kami dalam hidup, tapi selalu terlalu sedikit yang kami mampu berikan untuk memperbaikinya" batin Tarno. Huf... Berjuanglah engkau nak, harapan lebih baik selalu ada menanti di depan sana...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun