Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Topi yang Robek Itu Masih Kuingat, Tapi Tak Lagi Kurindukan

24 Januari 2019   13:30 Diperbarui: 24 Januari 2019   14:59 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: http://lonestarsouthern.com

Hari ini matahari cukup terik. Kami berpisah setelah mengobrol dalam perjalanan selama lima belas menit. Lima belas menit yang aneh. Tapi entah kenapa, aku merasa cukup senang. Dia memang perempuan yang cantik, cukup bersabar juga. Aku tidak pernah membuat janji untuk berjalan bersama teman, baik laki-laki ataupun perempuan, atau membuat janji untuk bertemu sekedar mengobrol bersama seorangpun teman.

Mungkin karena aku merasa diriku terlalu aneh, maka sudah sewajarnya aku tidak memiliki teman akrab. Mengapa sekarang ada seorang asing yang tidak pernah ku kenal mau berjalan kaki pulang pergi ke sekolah bersamaku, atau jangan-jangan dia juga adalah seorang yang aneh? Aku membatin sambil berjalan menyusuri trotoar tanpa menghiraukan pejalan kaki lain dan kendaraan yang lalu lalang di jalan sebelahku.

Maka hari ini, aku mulai memiliki seorang teman, seorang perempuan. Dia berjalan kaki bersamaku setiap hari saat berangkat ke sekolah dan saat pulang ke rumah. Tidak ada hal yang penting yang kami bicarakan setiap perjalanan. Itu karena aku memang merasa diriku aneh, sehingga tidak pernah memulai pembicaraan pertama kali. Setiap kali, pasti selalu dia yang memulai pembicaraan.

Tidak ada yang terganggu dengan rutinitasku yang sudah teratur selama ini, sekalipun aku sudah memiliki seorang teman berjalan kaki. Aku masih tetap bersekolah, mengerjakan pekerjaan rumah, ikut les dan mengikuti ibadah pada hari Minggu, seperti biasa.

Pernah pada suatu Sabtu siang, saat kami berjalan pulang dari sekolah di tengah hari yang panas terik, ia mengenakan baju seragam yang bersih dan wangi, rambutnya yang sebahu diikat sebelah dengan pengikat rambut berbentuk pita berwarna biru, sehingga aku bisa melihat sebelah telinganya yang putih. Sementara aku mengenakan seragam yang sudah lusuh, kerah bajuku bahkan sudah ada robek-robeknya karena bekas sikat cucian.

"Pinjami aku topimu dong, panas sekali hari ini, boleh?" katanya mengejutkanku.
"Emmm...emmmm...bagaimana ya?" kataku agak gugup.

Topi sekolah yang aku pakai sudah berumur dua tahun, atau mungkin lebih. Sudah ada robek di sebelah sisi depannya, tetapi setiap hari Sabtu memang selalu dicuci ibu, sesekali olehku. Untuk topi ini aku punya alasan kenapa tidak pernah diganti. Terlepas dari ibu yang cukup hemat, bahkan mungkin pelit, aku sendiri sebenarnya sangat tersiksa apabila harus memakai barang-barang baru. Bagiku, sesuatu yang baru adalah suatu hal yang harus dihadapi dengan berhati-hati. Aku sudah nyaman dengan barang-barang yang sudah lama aku pakai, seakan sudah menjadi bagian dari tubuhku sendiri. Sementara, yang baru belum tentu cocok denganku. Tapi, tidak enak juga menolak permintaan pertolongan dari seorang perempuan, karena memang panas sekali hari ini. Hanya saja, tidak cocok rasanya topi sekolah lusuh yang robek itu melekati rambutnya yang indah itu.

"Panas sekali, masa topi saja kamu tidak mau pinjamkan kepada teman?" katanya dengan nada agak sedikit merayu.
"Baiklah, ini, tapi itu bau sekali loh, mungkin banyak ketombe di sana" godaku.
"Hahaha, benar juga, karena aku lihat kamu tidak pernah tidak mengenakan topi ke sekolah."
"Kenapa sih, padahal kalau tidak memakai topi kamu jadi lebih tampan loh" katanya lagi. Kali ini dengan nada yang terasa lebih genit.
Aku hanya merasa malu, karena topi itu memang sudah sedikit robek. Tapi kami terus saja berjalan.
"Jack, setelah tamat SMP nanti kamu mau melanjutkan sekolah ke mana?"
"Ah, di sini saja, paling cuma butuh waktu lebih lama untuk berjalan kaki sekitar 10 menit lagi dari sekolah kita sekarang" jawabku.
"Bagaimana ya rasanya kalau bisa terus berjalan kaki bersama, Jack?"
"Ya sudah, kamu tinggal ikut berjalan kaki saja bersamaku kalau mau."
"Itulah, ayahku sudah mengatakan kalau aku mau dimasukkan ke asrama sebuah sekolah khusus putri di Jogja."
"Bagus buatmu, sepertinya kamu akan cocok di sana. Mungkin cewek cantik sepertimu memang tidak aman di sekolah umum di sini. Apalagi kalau di SMA, kan cowoknya jahil-jahil. Di asrama kamu akan aman" kataku.

"Hmmm...seperti itu ya?"
"Barangkali..." kataku.
"Jack, hari Minggu nanti bisakah aku datang ke rumahmu? Aku mau melihat sungai yang dekat dengan tempat tinggalmu itu."
"Sepertinya bisa, boleh" kataku.
"Oke Jack, sampai ketemu, jam sembilan aku datang ke rumahmu ya."
"Oke."

Memang sudah hampir dua bulan, Tiffani berjalan kaki pulang pergi sekolah bersamaku, setiap hari. Namun, kami tidak pernah bertemu sekalipun selain saat perjalanan pulang pergi ke sekolah itu. Setiap hari aku menjalani rutinitasku seperti biasa. Permintaannya untuk datang ke rumah hari Minggu nanti adalah sesuatu yang tidak biasa. Tapi apa yang tidak biasa sudah merupakan hal yang tidak aneh lagi bagiku. Sudah terlalu banyak hal aneh yang kutemukan selain ajakan untuk berjalan-jalan di hari Minggu.

Besoknya, hari Minggu, tidak seperti biasa, aku tidak pergi ke gereja. Jam sudah menunjukkan pukul 8:30 wib. Kepada ibu aku berkata bahwa aku kurang enak badan, dan mau tidur saja di rumah. Ibu tidak merasa ada yang aneh, karena aku memang tidak pernah berbohong. Mungkin baru hari ini saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun