Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Agen Perdamaian di Musim Pandemi

25 September 2020   08:07 Diperbarui: 25 September 2020   08:17 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Wabah corona yang melata, pandemi covid-19 yang terus menguji telah membuat semua lini terdampak, ekonomi, pendidikan, olah raga, sosial budaya, dll. Gegara pandemi, acap kita temukan sedikit perbedaan pendapat, friksi kecil, tindak kekerasan, rapuhnya sikap mental beberapa kalangan maupun masih ada pihak-pihak yang mengabaikan bahkan melawan protokol kesehatan. Ada saja yang memaksakan kehendak, merasa paling benar, mengklaim paling berjasa maupun sok paling baik. Semua sikap dan tindakan di atas pun kerap memicu pertengkaran, pertikaian, perselisihan antar warga, diantara saudara.

Jika kita terus menerus merawat perilaku dmeikian, maka kemudian tidaklah ada bedanya kita dengan para aktor tersebut yang justru hanya memperontonkan kelemahannya, kontraproduktif dan cenderung hanya mengedepankan okol atau otot ketimbang akal sehat. Keterpurukan  tersebut yang pasti hanya akan merugikan diri kita sendiri, karena harus kehilangan energi, emosi, waktu, tenaga juga kesempatan lain yang lenyap kala kita hanya sibuk menyalahkan atau menuding kesalahan orang atau pihak lain.

Gemes dan amat disayangkan ketika kita hanya menuruti hawa nafsu, tanpa menimbang dampak yang terbit, risiko yang timbul bahkan kerugian immaterial apalagi harus menanggung beban moral yang terlampau tak sedikit. Mengapa jika kita berkata-kata atau berbuat buruk dijamin bakal beroleh penolakan, perlawanan, mengapa juga kita tak berubah menjadi lebih baik, betutur baik dan andhap asor, sehingga menenteramkan semua pihak. Mengapa kita hanya memelihara kejelekan, prasangka buruk, curiga dan suka menebar hoak dan menyebarkan informasi yang bisa berakibat malapetaka, sepertui tawuran, bullying, aksi underground juga tindakan-tindakan lain yang maladjusted.

Di tengah kusutnya hidup atas pandemi covid-19 ini, di musim paceklik ini, karena nyaris semua hidup rakyat dibantu negara, negara hadir mengurai kurusnya hati dan jiwa, kelamnya pekerjaan dan pendapatan, redupnya pasar produk karena sulitnya mencari uang atau risaunya para orangtua yang kebahisan dana untuk membeli kuota internet bagi anak-anaknya yang     sedang belajar daring, dll.

Unsur bahasa, ungkapan maupun diksi yang kita gelar secara fisik maupun di ruang virtual pun secara tak langsung juga mempengaruhi panjang umurnya sebuah kedamaian. Betap tidak, andai kita sering berucap dengan kata-kata kasar bahkan kotor atau apriori kepada orang lain, secara cepat atau lambat akan merimbas pada diri kita juga. Jika setiap hari orang lain direcoki, diteror dan direndahkan tak menutup kemungkinan akan berbuntut kekerasan atau konflik. Hal ini tentu sangat jauh dari spirit dan nilai perdamaian.

Begitu juga lidah kita mulut kita bahkan jemari kita sekarang ini sekurangnya juga bisa menjunjukkan jati diri kita sebenarnya. Ajining diri gumantung ono kedaling lati, harga diri bergantung apa yang dita ucapkan, lisankan. Maka kemudian, saat kita tak bisa tepatnya tak mampu mengelola kata-kata, bersiap saja mendapatkan musuh baru,. Serangan balik, blunder dan senjata makan tuan.

Bahasa yang berlabel predikat sebutan binatang kerap pula dipakai dengan tidak pada tempatnya. Hanya gegera disebut atau dihalau dengan ejekan, hinaan, cercaan, makian, atau dalam Bahasa jawa pisuhan, maka secara tak langsung juga akan menyulut api ketidaksenangan yang bermuara pada bentrokan psikologsi bahkan phisik.

Acap bentuk-bentuk rendahnya mutu manusia itu tergelar saat semua pihak tak mampu mengendalikan diri atas emosi dan hanya disergap kebencian, dendam kesumat maupun kepuasan istan yang membabi buta. Sudah babi buta lagi. Ini yang sangat kita sayangkan.

Tawuran pelajar, bentrok mahasiswa, konflik antar kelompok, pengeroyokan, pembunuhan, kekerasan baik personal maupun komunal bertebaran, maka sudah saatnya itu semua diakhiri dan harus begeser ke ruang-ruang damai, penuh kesejukan dan  berwarna-warni empati. Rasa, sikap dan aksi soaial kemanusiaan pun di saat pandemi seperti kini mesti diketengahkan, dan ia akan lebih bermakna sekaligus bernyawa jika harus berhadapan dengan cemoohan atau bentuk perendahan martabat lainnya.

Untuk itu, sekurangnya kita bisa belajar soal perdamaian, kerukunan, kegotong royongan dari desa. Selama pandemi covid-19 ini, bukan bermaksud mengecilkan kebaikan orang kota, tapi sejatinya warga desa jauh lebih tenang, lebih siap dan jauh lebih antisipasi dan berimpresi lebih taat menegakkan disiplin protokol kesehatan.

Kita bisa lihat, berapa jumlah pelanggar operasi yustisi pencegahan covid-19 yang digelar setiap haru oleh petugas kesehatan, penegak perda maupun para penegak hokum yang harus memberi teguran, peringatan hingga hukuman atau denda. Tak sedikit di media layar kaca, memperlihatkan orang-orang kota, bahkan orang terpelajar atau berpendidikan tinggi yang harus melakukan aktivitas sosial, seperti membersihkan sungai, menyapu jalan, memunguti sampah, dll. 

Kolaboratif

Kita tak perlu membandingkan orang desa dan kota, bagi kita terpenting hari ini di pusaran kurus pandemi covid-19 ini, sudah saatnya kita kembali mawas diri, apa yang telah kita lakukan, kita perbuat itu telah mengimplementasikan protokol kesehatan melawan covid-19? Apakah kita sudah bisa menjadi contoh bagi keluarga, masyarakat lainnya? Apakah sikap dan aksi kita sudah menjangkau pada ngrogoh roso kamanungsan atas pandemi covid-19 ini atau merawat Jogo Tonggo kita? Dan pertanyaan lain yang terus menghunjam dada kita, diri kita.

Di tengah penat dan letihnya kita berjuang melawan kerasnya pandemi covid-19, alangkah baiknya kita belajar dan membalik kemelut pandemi ini dengan cara-cara genial tanpa melemahkan seluruh pemangku kepentingan dengan tetap membasiskan, pada: pertama menghargai perbedaan yang ada. Tak perlu kita membandingkan desa satu dengan lainnya, misalnya dalam kucuran bantuan covid-19. Tak penting mengkomparasikan lembaga satu dengan lain, contohnya dalam penanganan covid-19. Sangat tidak perlu, menguliti kekurangan pejabat satu dengan lain dalam menyikapi pandemi covid-19 atau tak perlu kiranya membenturkan ketidaksempurnaan sarana prasarana rumah sakit satu dengan lainnya.

Sudah seharusnya kita semua berusaha melahirkan agen-agen perdamaian dalam situasi pandemic ini, bukan mengompori, memanasi bahkan mengadudomba, menyebar hoaks dan atau perang informasi. Sekolah, kampus, tempat ibadah maupun desa-kota sendiri sudah semestinya membangun dan menjulurkan nilai-nilai kekeluargaan, kerjasama yang mengembuskan spirit damai, ramah dan toleran. Saling menghormati, menghargai dalam keberagaman dan keberagamaan.

Kedua, mengapresiasi perubahan. Perubahan di sini tentu saja yang membalik kekurangan menjadi kesempurnaan, keburukan menuju kebaikan, penghambat menjadi pendukung, desktruktif berubah ke konstruktif, dll. Bukan lagi mengolok-olok dan mengatakan janur gunung, wis taubat maupun isyaf ataupun pemecah recor, gila atau anjir, dll.

Dan, ketiga, kita menggeser daya kompetitif ke kolaboratif, dari persaingan mengarah ke kerjasama, bergandengtangan, sekurangnya sedikit mau merendahkan ego demi meningkatkan kualitas diri yang berujung dunia yang damai, tenteram dan kondusif. Tak ada klandestin dalam sikap dan aksi, semua saling membuka diri untuk kesalehan dan kemaslahatan masyarakat.

Sudahlah, kita akhiri kericuhan, kegaduhan di dunia nyata maupun jagat maya, karena sudah tak sedikit nyawa melayang gegara pandemi covid-19.

Tak kurang baiknya,kita berkontemplasi lewat kutipan Dorothy Law Notle : Jika anak hidup dengan kekerasan dia akan belajar untuk bertengkar, Jika anak hidup dengan penuh keterbukaan, dia akan belajar keadilan, Jika anak hidup dengan rasa iri dia akan belajar untuk merasa iri, Jika anak hidup dengan berbagi, dia akan belajar kebaikan hati, Jika anak hidup dengan toleransi, dia akan belajar kesabaran, dan Jika anak hidup dengan perhatian, dia akan belajar menghormati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun