Mohon tunggu...
Tengku Bintang
Tengku Bintang Mohon Tunggu... interpreneur -

Pensiunan

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Kopassus; Kebanggaan, Kehormatan, Kesetiakawanan

8 April 2013   20:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:30 4900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Seluruh tentara di dunia ini niscaya menganut tradisi yang sama, yaitu menjunjung tinggi kebanggaan, kehormatan dan kesetiakawanan. Mengapa? Karena mereka dipersiapkan untuk berperang. Tiga hal itu merupakan aspek psikologis penting untuk menyatukan kekuatan untuk mendapatkan daya pukul, selain aspek fisik dan keterampilan teknis lainnya. Musuh mesti dihancurkan dan kemenangan mesti diraih. Itulah mengapa tentara memelihara semboyan-semboyan dramatik seperti; lebih baik mandi keringat dalam latihan daripada mandi darah di pertempuran, pantang mundur, bertempur sampai titik darah penghabisan, menang atau mati...., dan sebagainya. Itu pula penyebabnya unit-unit tentara itu diberi nama-nama yang sangar; Batalyon Macan Kumbang, Kompi Ular Kobra, Unit Kala Hitam, Batu Buaya, dan lain-lain.

Setiap personil tentara mesti bangga pada dirinya, bangga pada seragamnya, senjatanya, kesatuannya dan reputasinya. Bangga akan bangsanya, negaranya, lambang-lambangnya. Pancasila, UUD 45, NKRI harga mati. Ini penting karena jika kebanggaan berkait erat dengan semangat menjaganya. Tanpa kebanggaan seseorang akan loyo, pemalas, sulit berbaur, akhirnya tak dapat berkontribusi maksimal kepada kelompoknya.

Berikutnya tentara pun mesti ketat memelihara kehormatan dirinya, kesatuannya dan korps-nya. Kehormatan adalah segala-galanya. Kehormatan tertinggi dalam pandangan tentara adalah meraih kemenangan, dan penghinaan paling tandas adalah menderita kekalahan. Sudah menjadi tradisi tentara, batalyon tempur yang menderita kekalahan dalam pertempuran akan segera dibubarkan, lalu dilebur ke kesatuan lain. Sebab semua unit tidak boleh memiliki riwayat kekalahan.

Yang terakhir, semua anggota mesti saling membantu, saling asah, asih, asuh. Sebab di medan peperangan hanya mereka-lah yang saling menyelamatkan, saling bergantung satu sama lain. Jika ada anggota yang sakit, terkilir, terluka, maka tergantung temannya untuk menyelamatkannya. Jika tidak ia akan tertinggal sendiri di dalam jurang. Kemalanganlah yang menghadang. Karena itu kesetiakawanan di kalangan tentara dianggap sebagai harga mati. Pemahaman ini telah ditanam sejak seseorang diterima bergabung dengan kesatuan tentara, dan akan terus ditanamkan melalui doktrinasi sehingga menjadi pemahaman di alam bawah sadar.

Hal lain yang penting diketahui mengenai tentara adalah, sekitar 85% mereka itu adalah golongan prajurit berpangkat rendah, disebut Golongan Tamtama. Dalam bahasa kampung mereka ini kerap diplesetkan sebagai ‘umpan peluru’ karena mereka inilah yang berada di garis terdepan jika terjadi pertempuran. Seluruh Tamtama adalah penembak, dan setiap orang diwajibkan menguasai salah satu ilmu bela diri. Ini untuk mewaspadai situasi jika kehabisan peluru terpaksa menggunakan batu, habis batu gunakan tinju. Golongan Tamtama merupakan ujung tombak tentara, dan merupakan kekuatan utama. Sedangkan prajurit berpangkat lebih tinggi, Golongan Bintara dan Perwira, tugasnya adalah melatih, mengorganisir dan merancang strategi.

Pada era sebelum reformasi, kualitas SDM untuk penerimaan Tamtama adalah lulusan Sekolah Dasar (SD). Lulus SD pun tak mengapa, yang penting bisa baca-tulis dan sehat jiwa-raga. Setelah reformasi (sekarang ini) kualitas SDM-nya dinaikkan sedikit menjadi lulusan SMP. Kalaupun si Calon adalah lulusan SMA, tetapi yang digunakan untuk mendaftar adalah ijazah SMP. Kecuali untuk Golongan Bintara dan Perwira, diwajibkan minimal lulusan SLTA, dengan nilai ijazah yang baik pula.

Timbul pertanyaan, mengapa untuk Golongan Tamtama diprioritaskan dari lulusan SMP? Ini terkait dengan proyeksi penugasannya kelak setelah bergabung dengan TNI, selain untuk memberi kesempatan kepada putera-putera bangsa lainnya yang putus sekolah. Masalahnya, untuk menjadi penembak, petarung terdepan, perkelahian pisau, tak diperlukan pendidikan akademik yang tinggi amat. Naluri perang itu dimiliki setiap orang secara alamiah. Yang penting sehat jiwa-raganya, kuat berlari dan pemberani pula. Malahan personil yang terlalu tinggi pendidikannya, sarjana hukum misalnya, bisa-bisa menjadi masalah, selain tak sesuai baginya menempati jabatan setara pegawai negeri golongan I/a.

Itulah mengapa timbul kelucuan-kelucuan ketika TNI masih aktif menghadapi gelombang demonsrtrasi pra-reformasi dahulu. Para mahasiswa berteriak-teriak di depan barisan TNI, bicara soal reformasi, soal demokrasi, soal kebebasan berekspresi, sosial politik, hukum universal dan segala macam. Mahasiswa itu tidak sadar bahwa yang mereka teriaki itu cuma setumpuk daging yang hanya tahu berkelahi. Tampak gagah karena memakai seragam dan helm, sedangkan di dalamnya hanyalah laki-laki lulusan SD. Ujungnya, sama-sama bingung!

Peristiwa terakhir di Lapas Cebongan, pemimpin penyerbuan itu adalah seorang Bintara lulusan SMA, dan yang lainnya adalah Tamtama lulusan SMP. Mereka memang pintar dan cerdas, tetapi hanya di bidang perkelahian, pengintaian, lempar pisau dan perkelahian satu lawan satu. Mereka tak tahu soal hukum humaniter dan segala cabang-cabangnya. Yang mereka tahu adalah salah satu temannya dibunuh oleh preman, dan tindakan berikutnya adalah membalas. Ini bukan soal dendam, bukan soal pamer kekuatan. Ini soal harga diri dan kehormatan satuan. Ini menyangkut indoktrinasi yang sudah tertanam sejak awalnya. Menyangkut kesetiaan yang hanya mereka dapat rasakan!

Salahkah mereka?

Ya, tentu saja bersalah. Tetapi kalau mau sama-sama jujur, bukan mereka saja yang bersalah. Termasuk bersalah adalah pelatihnya, komandannya, panglimanya, sumpah-setianya, Sudirman dengan ajaran-ajarannya, Sukarno dengan ajaran-ajarannya, dan seluruh bangsa ini. Mengapa kita sebegitu bodoh menjadikan putera-putera kita menjadi mesih pembunuh yang buta-tuli, menjadikannya seonggok daging yang dijejali doktrinasi perang yang tak berkesudahan. Menjadikannya menghamba pada kalimat hampa: Mati dalam peperangan adalah kebanggaan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun