Mohon tunggu...
Teguh Ostenrik
Teguh Ostenrik Mohon Tunggu... Seniman

Pelukis, pematung, sukak mikir, ARTificIAL Reef dan sukak masak

Selanjutnya

Tutup

Seni

Meniti Bercak Kata2

10 Maret 2025   11:51 Diperbarui: 10 Maret 2025   11:51 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat memasuki ruangan teater itu, suasana masih terasa biasa saja. Namun tiba-tiba lampu ruangan dipadamkan. Gelap. Bukan sekadar redup, melainkan kegelapan yang begitu pekat hingga rasanya bisa diraba. Gelap yang terasa hidup, seolah menelan keberadaan saya. Mata saya berusaha menyesuaikan diri, menatap kosong ke dalam kehampaan, namun tak ada yang bisa terlihat, kecuali satu titik cahaya hijau yang berkedip samar dari kejauhan. Cahaya kecil yang nyaris tak berarti, namun begitu menusuk di tengah kegelapan yang menyesakkan. Mungkin alat pendeteksi digital, pikir saya.Di ruang depan Gallery tadi, seorang perempuan cantik yang bertugas menerima tamu telah mengumpulkan secara paksa ponsel para pengunjung. Tanpa ponsel, tanpa kontak dengan dunia luar, kami semua dibiarkan tersesat di dalam kegelapan ini. Saya benar-benar sendirian---sendirian bersama pikiran saya yang mulai menggeliat resah.Gelisah merayap dari dada ke seluruh tubuh saya. Retina saya membesar, berusaha menangkap secercah cahaya yang tidak pernah datang. Dan tiba-tiba, tanpa sadar, tangan kanan saya bergerak---sebuah gerakan conditional reflex, mencari ponsel yang tak lagi ada di saku saya. Gerakan yang begitu otomatis, seolah tubuh saya mencari pelarian dari kenyataan yang tak bisa dihindari. Namun, pelarian itu sia-sia. Saya hanya bisa duduk diam, mendengarkan nafas orang-orang di sekitar saya---sekitar 25 hingga 30 penonton lain yang bernasib sama. Kami semua sama-sama terperangkap. Sama-sama tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Perlahan, detak jantung saya yang tadi berderap mulai melambat. Ketenangan menggantikan kegelisahan. Saya menutup mata, berusaha berdamai dengan kegelapan ini. Dan di dalam sunyi yang pekat itu, saya mendengar sesuatu---suara tubuh saya sendiri. Detak jantung yang berirama pelan, napas yang berdesir lembut. Gelap ini bukan sekadar ruang kosong, melainkan cermin yang memaksa saya menatap diri sendiri, lebih dekat dari sebelumnya.
Tiba-tiba, ruang itu hidup. Musik karya Panagiotis Mavridis, yang dimainkan dengan instrumen buatannya sendiri, mulai mengalun. Suara-suara yang asing, seolah datang dari dunia lain, mengalir dan mengisi kekosongan yang tadi begitu pekat. Tak lama kemudian, bercak-bercak warna mulai muncul---samar, nyaris bersembunyi di balik layar ganda yang tampak seperti kabut. Bayangan itu bergerak perlahan, membentuk refleksi yang berlapis-lapis, menciptakan ilusi ruang tiga dimensi yang menari di depan mata saya. Visual ini mengingatkan saya pada efek samping dari patung-patung saya yang menggunakan teknik Forced Perspective---sebuah keindahan yang lahir dari manipulasi sudut pandang.
Bahkan ada detik-detik di mana saya merasa bosan. Tapi anehnya, rasa bosan itu tidak saya benci. TIDAK! Saya begitu sadar bahwa rasa bosan itu bukan kesalahan, melainkan bagian dari skema yang telah disusun oleh Raha dengan perhitungan matematik yang begitu cermat. Rasa bosan itu sengaja dimunculkan, seolah untuk menguji kesabaran saya, menempatkan saya dalam ruang waktu yang melambat, memaksa saya untuk duduk bersama diri sendiri tanpa gangguan. Dalam kebosanan itulah, pikiran saya melayang bebas, menembus batas ruang dan waktu.
Kemudian, dalam suatu momen yang tak terduga, saya merasa seperti berada di antara dua dunia: dunia nyata yang tenang dan dunia bawah sadar yang gaduh. Bercak-bercak warna yang berkilauan di layar mulai terasa seperti aliran ingatan yang terserak---potongan-potongan kenangan yang tiba-tiba muncul tanpa pola, tanpa urutan yang jelas. Seolah-olah Raha sedang menelusuri ruang ingatan saya, mengaduk-aduk masa lalu yang terlupakan, menghadirkannya kembali sebagai serpihan gambar yang bergetar dalam kesadaran saya. Saat itulah saya sadar bahwa kebosanan yang sempat saya rasakan adalah pintu masuk menuju momen-momen ini---momen ketika kenangan, perasaan, dan pikiran bercampur menjadi satu dalam tarian cahaya dan bayangan.
Dalam hati, saya berbisik, "Ini baru film performance yang sangat unik." Saya merasa berada di antara realitas dan mimpi, seolah pikiran saya berusaha memahami sesuatu yang belum pernah saya alami sebelumnya.
Ingatan saya melayang pada pengalaman di Kunstverein Koeln tahun 1982, saat saya menyaksikan pembacaan puisi dari John Cage. Waktu itu, puisinya diiringi oleh kolase 16.000 suara yang diputar serentak dari 6.000 lokasi di seluruh dunia. John Cage berdiri di atas podium selama 12 jam, tanpa henti membacakan puisi-puisinya. Di sana, penonton bebas duduk atau berbaring, bahkan beberapa orang sempat tertidur. Saya ingat, meskipun sempat terlelap, saya tidak hanya "mendengar" kata-kata, tetapi juga melihat bercak-bercak citra yang berwarna-warni. Seolah John Cage sedang mengolah makna dengan palet cahaya dan bunyi.
Kembali ke Roh Gallery tadi malam, di dalam ruang gelap Raha Raissnia, kata pertama yang muncul dari benak saya adalah "KATARAK." Anehnya, kata itu begitu jelas dan nyata. Empat bulan sebelumnya, kedua mata saya baru saja dioperasi katarak. Sejak itu, penglihatan saya menjadi lebih tajam, bahkan 300 kali lebih tajam dari sebelumnya. Bercak-bercak warna yang memantul di layar ganda itu mengingatkan saya pada bagaimana dunia tampak saat saya masih menderita katarak---samar, berbayang, penuh ilusi yang tak bisa saya percaya sepenuhnya.
Galvanascope III judul dari karya terakhir yang disajikan, film 16 mm yang dilukis dengan tangan, hitam putih, 12 menit, musik oleh Raha Raissnia, 2019. Dalam penciptaan Galvanascope III, Raha Raissnia memulai dengan menumpuk dan memotret ulang berbagai cuplikan yang diambil langsung dari permukaan beberapa lukisannya. Ia kemudian menggabungkannya dengan citra yang berasal dari sekotak slide 35mm yang ditemukan di arsip sumber daya visual yang dibuang oleh Brooklyn College. Slide tersebut menggambarkan reruntuhan sebuah masjid abad ke-14 di India. Dengan memotong, menyambung, melukis, melapisi, dan mendistorsi gambar-gambar tersebut, film ini membuka dan memperkaya kemungkinan makna dari foto-foto aslinya. Melalui perpaduan bentuk arsitektural dan organik, Raissnia menyinggung pemikiran, perasaan, dan cara hidup umat manusia yang membawa akar leluhurnya dan bergerak menuju masa depan.
Lalu muncul lagi sebuah kata yang terus bergema di kepala saya: "DEMENSIA." Aneh, bukan? Kata itu datang tiba-tiba, seolah mengajak saya melupakan tumpukan ribuan kata yang membludak di dalam benak saya. Kata-kata itu terus meledak-ledak, berhamburan di kepala saya, tetapi tak ada yang mampu saya ingat kembali. Karena DEMENSIA selalu menyelinap di antara ribuan kata. Rasanya seperti otak saya telah penuh dengan informasi yang berputar-putar tanpa bisa saya kendalikan---seperti hard disk yang sudah mencapai batas kapasitasnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun