Mohon tunggu...
teguh imam suryadi
teguh imam suryadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Penikmat kopi gilingan sampai sachetan

Penikmat kopi gilingan sampai sachetan.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Merawat dan Menampung Ide Menulis

20 November 2018   20:01 Diperbarui: 21 November 2018   15:28 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalimat apa yang harus dan perlu diketik di halaman/ layar putih untuk memulai sebuah tulisan? Ketika mulai menulis ini, saya tidak tahu akan seperti apa akhirnya. Hanya ingin menulis saja tanpa arah. Toh, kalimat bijak mengatakan, perjalanan harus dimulai dari langkah pertama. Saya pikir begitu juga dalam hal menulis.

Maka terbayanglah saya pada suasana ketika berada di dalam biskota Jakarta sebelum tren busway yang nyaman seperti sekarang. 

Sebagai pengguna biskota waktu itu; saya mengenal yang namanya gerah, dan mencium beraneka aroma dari wangi parfum sampai bau badan. Semua bercampur aduk.

Penumpang bis, saya ibaratkan ide yang tatkala sampai di terminal (seperti Pulo Gadung) mereka berhamburan mencari udara segar. Penumpang meloncat berdesakan tak mau berlama-lama di dalam bis yang sumpek!

Ide atau gagasan yang dibiarkan menumpuk dan berkerumun akan menjadi lumut, mengering kemudian mati. Maka dia harus dikeluarkan dari dalam ruangan gelap dan pengab agar mendapat oksigen, sehingga tidak menjadi angan-angan kosong.

Seringkali ide dan gagasan muncul pada waktu dan tempat yang tidak tepat. Seperti penumpang biskota era 1990an tadi.

Jika datang sebuah ide biasanya saya salurkan / tempatkan ke dalam tulisan, sekali-sekali bersenandung lagu-lagu ditemani gitar (maksudnya, menyanyikan lagu orang). Prinsipnya ide harus diberi tempat.

Tapi keberuntungan tak selalu berpihak, seperti juga kemalangan tak mesti datang menemani.

Malah seringkali saya melihat kematian atas ide-ide saya sendiri. Kematian itu karena mereka melompat terjun bebas sebelum menemukan tempat berpijak.

Persisnya ide suka muncul di tempat yang sulit terduga, ketika tidak tersedia alat tulis kertas atau smartphone lagi lowbatt.

Apakah ide harus mati muda, sementara harga sebuah ide sangat 'mahal' jika dikaitkan dengan dunia kreatif dan industri? Setidaknya, saya mempercayai hal itu.

Beberapa kasus menunjukkan mahalnya sebuah ide adalah pengalaman saya, baik yang dengar langsung dari beberapa teman atau menimpa diri saya sendiri.

Yang paling sering terjadi adalah pencurian ide dalam pembuatan program di televisi, radio, media, konsep iklan, sinetron, hingga film, lagu dan musik.

"Gue sudah pitching sama tim kreatifnya, tapi konsep yang gue ajukan ditolak dengan alasan gak cocok. Tapi dalam hitungan bulan, konsep yang gue bikin itu tayang dengan judul lain," kata teman, seorang wartawan. Dia sewot naskah skenario sinetronnya ditolak tapi tayang dengan sedikit perubahan dan berbeda judulnya di tivi.

Sudah bukan rahasia jika hampir semua stasiun televisi sangat gencar mencari ide-ide segar. Mengandalkan ide tim internal semata tidak akan mampu bersaing dengan tivi lain.

Maka salahsatu pilihannya adalah menggandeng pihak luar (outsourching). Langkah ini cukup masuk akal karena tim kreatif internal televisi lelah digempur tuntutan rating, dan bersaing sesama broadcaster. Karena capek, kreatifitas akan mengendur bahkan tumpul. Jalan kreatif lainnya adalah mencuri ide yang datang (tawaran pihak lain), atau memodifikasi program lain yang ratingnya lagi tinggi di stasiun tivi sebelah.

Nah, teman saya tadi termasuk yang mengirim ide  kemudian ditolak untuk dieksekusi dan diklaim milik stasiun televisi. Tidak perlu disebut stasiun tivi yang mana, tapi tivi swasta. 

Kalau sudah begitu, sulit bagi kreator selaku penggagas atau pemilik ide untuk menggugat. Itulah contoh betapa mahalnya sebuah ide.

Saya sangat menghargai setiap ide, yang datang dari diri sendiri terutama dari orang lain. Jika ada orang meremehkan atau mengabaikan ide kita, itu bukan karena dia lebih baik. Bisa jadi karena tidak memiliki ide sebaik kita. Maka, tetap fokus dan berani mewujudkan ide kita sendiri itu lebih baik.

Dengan segala keterbatasan, saya tidak punya opsi memperkecil risiko matinya ide, selain menyimpannya dalam memori.

Alasannya, di saat menemukan alat tulis nanti, ide di dalam memori bisa dihidupkan lagi. Itu dengan catatan, ruang penyimpan data di memori cukup kuat untuk mem-backup ide-ide yang berlarian tadi.

Sebelum melantur jauh, izinkan saya bertanya mengapa saya harus menulis? Bahwa menulis adalah ciri mahluk beradab, itu tidak selalu benar. Sebab, sejak jaman batu manusia sudah berupaya menulis di goa-goa dan batu. Seperti apa mahluk beradab itu? Ya, yang bisa menulis.

Sebaiknya menulis menjadi budaya (disiplin) selain membaca. Semoga kita menjadi beradab setelahnya. Atau paling tidak ikut berkontribusi mengisi peradaban.

Menulis memerlukan enerji, bukan sekadar tumpahan isi kepala dan perasaan. Menulis seperti proses menularkan referensi, pengalaman atau seberapa dalamnya perenungan si penulis.

Menulislah jika bosan dan malas bicara, ketika marah, merasa lapar dan dahaga. Menulis juga untuk menunjukkan bahagia, cinta dan nestapa.

Jangan takut tulisan jelek dan menjadi cemoohan. Karena menulis bukan untuk orang lain. Menulis sejatinya untuk diri sendiri.

Mulai saja menuliskan apapun, lupakan bahwa orang akan menilainya buruk. Kalau pendapat saya salah, abaikan. Sebab, saya pun masih belajar menulis. **

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun