Mohon tunggu...
Situt Saputro
Situt Saputro Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

@situt.04

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Idul Adha dan Momentum Membangun Perlawanan Kolektif

16 Agustus 2020   02:43 Diperbarui: 16 Agustus 2020   03:22 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seminggu lebih kita melewati hari raya besar Idul Adha yang tahun ini dijalankan dengan tradisi kebiasaan yang berbeda -- di tengah menjamurnya pandemi covid-19 yang belum juga berhenti. 

Idul Adha yang biasanya diperingati dengan ziarah ke tanah suci secara besar-besaran untuk melakukan ritual ibadah haji, tahun ini cukup puas dengan hanya menyemarakkan hari raya dengan menyembelih hewan-hewan kurban.

Meski terasa berbeda dengan tradisi kebiasaan, Idul Adha dalam kondisi dan keadaan apapun tidak mengurangi substansi hikmah dan esensi pelajaran yang terkandung di dalamnya. Di sisi praktik, masyarakat seakan tidak pernah merasa diberatkan dengan keadaan yang ada. Perayaan hari raya tetap dirayakan oleh sebagian besar umat dengan suka cita.

Seperti yang diyakini oleh umat Islam pada umumnya, Idul Adha adalah hari di mana kita sebagai umat memperingati sebuah peristiwa besar dalam khazanah literatur sejarah agama Tauhid -- termasuk Islam. 

Di hari ke sepuluh Dzulhijjah tersebut, tepat Nabi Ibrahim mendapatkan risalah berupa perintah mengurbankan salah satu putra kesayangannya -- Ismail. Sebuah isyarat maha besar, sebagaimana yang diyakini sebagai hikmah yang terkandung pada umumnya bahwa ajaran agama menuntut kita untuk tidak segan-segan mengorbankan sesuatu yang kita miliki untuk kepentingan di jalan Tuhan.

Lewat peristiwa besar itulah, tradisi berkurban diwariskan sampai hari ini dengan mengganti objek kurban berupa hewan-hewan yang telah dianjurkan -- sapi, kambing, kerbau, dan onta -- tergantung konteks sosial-budaya setempat.

Tradisi Kurban dan Gotong Royong Kolektif

Dalam konteks tradisi Idul Adha di Indonesia, perayaan hari besar umat Islam tersebut diperingati dengan tradisi yang unik dan jarang ditemukan di tempat-tempat lain. Tradisi lokal kita dalam merayakan hari raya kurban dengan semangat gotong royong secara kolektif.

Masyarakat secara berbondong-bondong dari seluruh lapisan kelas, gender, dan umur turut larut dalam perayaan Idul Adha. Meniadakan bias kelas dan entitas material yang disemat, masjid, musholla, pesantren, madrasah, ataupun lokasi-lokasi penyembelihan hewan-hewan kurban menjadi saksi bahwa lewat momentum Idul Adha masyarakat dapat meleburkan diri dalam komunal organik untuk mencapai tujuan bersama.

Setiap individu dalam komunal masyarakat turut berkurban sesuai dengan apa yang dimiliki, menyumbangkan segala kelebihan yang dimiliki. Semisal, pemuka agama mengurbankan tempat atau lahan untuk dijadikan pusat perayaan, masyarakat yang memiliki kelebihan secara materi mengurbankan harta yang dimiliki untuk dialih-bentuk menjadi hewan-hewan kurban, masyarakat yang tidak mampu secara materi mengurbankan waktu dan tenaga sebagai panitia penyembelihan, perempuan-perempuan mengambil kontribusi dengan mengurbankan skill memasak dan meramu daging olahan.

Semuanya berkontribusi mengurbankan apa yang bisa diberikan untuk mencapai satu titik yang sama -- perayaan Idul Adha secara bersama-sama. Tradisi berkurban inilah yang menjadi bukti bahwa sekat-sekat yang selama ini tumbuh secara hierarkis dan sistematis di komunal masyarakat -- umat -- mampu melebur dalam kerja gotong royong kolektif.

Selain kolektif, tradisi merayakan Idul Adha juga dilakukan secara inklusif. Dalam artian membuka lebar-lebar individu dari lintas identitas untuk turut berkontribusi dalam kerja bersama. Sebuah citra masyarakat yang barangkali hanya mampu dilihat ketika perayaan Idul Adha.

Problematika Sosial di Sekitar Umat
Di sisi lain, kondisi sosial umat hari ini terjerat dalam problematika-problematika yang sistematis. Banyak umat masih berada di bawah garis kemiskinan. Banyak umat yang masih menggantungkan hidup dalam lingkungan yang dibawah standar kewajaran. 

Banyak umat yang menjadi korban ketimpangan pembangunan. Banyak juga umat yang ruang hidup dan sumber penghasilannya diserobot atas nama kepentingan negara. Dari rentetan peristiwa, umat tidak mampu bangkit karena tidak mempunyai kapasitas power ataupun akses ekonomi-politik.

Keberadaan rentetan problematika tersebut menyeret umat menjadi entitas yang dimarjinalkan oleh sistem yang ada secara turun temurun dari generasi ke generasi selanjutnya. Imbasnya, agama dan circle jaringan umat tidak mampu menjadi power knowledge untuk bangkit keluar dari jurang problematika jika usaha melawan dilakukan hanya beberapa komunitas atau individu seperti yang selama ini dilakukan.

Eksploitasi-eksploitasi yang menghancurkan ruang hidup terus merembet hingga ke pelosok-pelosok yang dihuni masyarakat kecil dan kebetulan termasuk umat Islam yang menjadi korban. Eksploitasi terkini juga merampas ruang demokrasi dengan mengesampingkan bahkan tidak pernah mendengarkan suara-suara masyarakat atau umat yang terdampak.

Fakta-fakta yang menyertai menimbulkan paradoksikal dalam interaksi antara umat dan pengetahuan agama yang kebanyakan diajarkan. Agama yang seharusnya menjadi jalan pedoman yang tidak bisa lepas dari aspek sosial, menjadi pedoman yang hanya bicara ritual tanpa menyentuh realita kondisi umat. 

Kebiasaan menjauhkan peranan agama terhadap fungsi sosial menegasikan fungsi agama yang salah satunya sebagai alat legitimasi dari proses perubahan yang terjadi di sekitar kehidupan para pemeluknya (Kahmat, 2002: 54). Sehinga peranan menjadi tidak seimbang -- produktif secara vertikal (hubungan khalik dan makhluk) namun lemah secara horizontol (hubungan makhluk dan makhluk).

Momentum untuk Merajut Perlawanan Kolektif
Kembali ke tradisi perayaan Idul Adha, gotong royong dengan solidaritas kolektif yang selama ini diterapkan menjadi secercah harapan untuk kembali mendiskusikan dan mempertimbangkan kebangkitan umat. Meleburnya kepentingan antar individu ataupun antar kelas sosial yang selama ini terkesan utopis. Tradisi Idul Adha kemarin adalah momentum untuk kembali melihat potensi yang ada dalam lingkungan umat.

Perayaan hari raya yang diselenggarakan secara kolektif setidaknya menjadi awal untuk saling berbagi kepedulian serta saling meminggirkan kepentingan individual. Idul Adha adalah momentum untuk kita kembali memikirkan kekuatan kolektif umat serta mengoptimalkan segala yang dimiliki oleh umat.

Ruang kolektif-inklusif sederhana seperti yang terlihat di kepanitiaan penyembelihan menjadi contoh dan awal untuk membuka kembali ruang yang bersifat sama dengan tujuan dan orientasi yang jauh lebih panjang dan besar. Yakni mengantarkan umat untuk bangkit melawan segala sistem ekonomi-politik yang selama ini mengekspolitasinya. Serta potensi-potensi baru yang semakin membenamkan umat dan membuka eksploitasi-ekspolitasi lebih lanjut yang merugikan -- seperti yang terdekat yakni Omnibus Law RUU Cilaka.

Jika momentum Idul Adha kemarin berhasil diterapkan oleh hampir sebagian besar lingkungan umat yang merayakan, mempertimbangkannya sebagai momentum perlawanan kolektif bukanlah mustahil untuk diterapkan.

Menyeimbangkan hablumminallah, hablumminannas, dan hablumminalalam melalui gerakan kolektif untuk bangkit keluar dari segala problematika adalah aktualisasi Islam sebagai rahmatan lil alamin paling nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun