Mohon tunggu...
Teddy Syamsuri
Teddy Syamsuri Mohon Tunggu... lainnya -

Ketua Umum Lintasan '66, Wakil Sekjen FKB KAPPI '66, Pendiri eSPeKaPe, Direktur Kominfo GNM dan GALAK, Inisiator AliRAN.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hearing Pergerakan Pelaut Indonesia dengan Panja UU PPTKILN Komisi IX DPR

1 Juni 2016   22:26 Diperbarui: 1 Juni 2016   22:44 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pelaut Senior Kutip Aspirasi Kritis Pergerakan Pelaut Indonesia Dalam RDPU Dengan Panja Revisi UU TKILN Komisi IX DPR-RI.

Pergerakan Pelaut Indonesia (PPI) Sampaikan Masukan Kritis Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Dengan Panitia Kerja (Panja) Revisi Undang-Undang Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU TKILN) Komisi IX DPR Pada Hari Rabu, 1 Juni 2016, Jam 10.00 WIB Di Ruang Rapat Komisi IX DPR Gedung Nusantara I Lantai Dasar Gedung DPR RI Senayan.

1. Pemberian Ijin Penempatan TKI Pelaut

Mengingat Isu hukum masalah lembaga pelaksanan penempatan TKI Pelaut kian rumit dan runcing oleh karena perusahaan yang melakukan penempatan pelaut tanpa SIPPTKI dari Menaker, sebenarnya tergolong menjalankan tindak pidana kejahatan karena merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 102 ayat (1) huruf b UU PPTKILN. Konsekuensinya kendati setiap badan usaha yang memiliki SIUPPAK dari Dirjen Hubla, tapi tidak mempunyai SIPPTKI dari Menaker tentunya bisa digolongkan sebagai pelaku kejahatan karena melanggar UU PPTKILN.

Pada kenyataannya memang banyak terjadi kasus-kasus suatu perusahaan berbadan hukum melakukan penempatan TKI Pelaut. Padahal perusahaan-perusahaan tersebut bukan berbentuk PPTKIS (Pelaksana Penempatan TKI Swasta) alias PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia), karena perusahaan tersebut tidak memiliki izin tertulis berupa SIPPTKI dari Menaker. Saat ini kurang lebih ada 109 perusahaan pengirim ABK, dan yang baru memiliki SIUPPAK dari Kemenhub sejumlah 15 perusahaan adalah : PT Oceanindo Prima Sarana, PT AAPL Indonesia Crew, PT BSM Crewing & Manning, PT Piramid, PT Antar Samudera, PT Sekai Hikari Indonesia, PT Cemerlang Tunggal Intikarsa, PT Cemerlang Tunggal Intinusa, PT Cahaya Tunas Inti, PT Sumber Bakat Insani, PT Cipta Wira Tirta, PT Andhini Eka Karya Sejahtera, PT Jasindo Duta Segara, PT Equinox Bahari Utama, dan PT Ratu Oceania Raya.

Terkait ke-15 perusahaan tersebut, tentunya Menaker perlu melakukan verifikasi, apakah ke-15 ship manning agency sudah memiliki SIPPTKIS dari Kemenaker atau belum? Dan bagaimana dengan perusahaan penyalur yang tidak memiliki ijin PPTKIS, apa sanksinya jika melakukan pelanggaran? Tentu diharapkan Menaker bersikap tegas terhadap perusahaan penyalur yang tak berijin. Sudah saatnya bagi Menaker mengedepankan perlindungan TKI Pelaut sebagaimana mandat Konstitusi Negara sehubungan dalam rangka perspektif Pemerintah Indonesia bertekad mewujudkan visi Poros Maritim Dunia dengan menjadikan potensi Pelaut sebagai motor penggerak pembangunan Tol Laut.

Isu masalah norma konstitusionalitas UU justru mencuat dari penjelasan Pasal 28 UU No. 39 Tahun 2004 yang memberikan kewenangan pembuatan Permenaker tentang penempatan TKI pada pekerjaan dan jabatan Pelaut, justru malah menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, peraturan perundang-undangan tentang penempatan TKI Pelaut juga sudah ada dan diatur dalam UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran junto PP No. 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan junto Permenhub No. 84 Tahun 2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal.

Namun yang lebih mencengangkan lagi, nyatanya Kepala BNP2TKI pun merasa berwenang menerbitkan Peraturan Kepala BNP2TKI No. 13 Tahun 2009 yang kemudian diganti dengan Peraturan Kepala BNP2TKI terbaru, yakni No. 3 Tahun 2013 dan No. 12 Tahun 2013 tentang Penempatan TKI Pelaut/ABK. Parahnya lagi, Kepala BNP2TKI justru memberi izin kepada suatu perusahaan yang tidak memiliki kedudukan sebagai PPTKIS/PJTKI untuk melakukan penempatan TKI Pelaut di kapal-kapal berbendera asing.

Bagi sebagian besar Pelaut Indonesia, kemungkinan saja setelah Rancangan Undang-Undang tentang Ratifikasi Maritime Labour Convention (MLC) 2006 disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan disahkan oleh Presiden Republik Indonesia, dimana MLC 2006 adalah produk International Labour Organization (ILO) dan telah didukung oleh International Maritime Organization (IMO), menjadi jelas jika penempatan TKI Pelaut serta yang terkait hak-hak dasarnya bekerja di kapal-kapal niaga mendatang ada dibawah kewenangan Kemenaker.

Mungkin bagi sebagian besar Pelaut Indonesia dengan mulai penempatan sampai perlindungan selama ini diurus oleh Ditjen Hubla Kemenhub. Terus terang saja, banyak sekali keluhan-keluhan dari pelaut dan sulit sekali juga diselesaikan dari akibat tidak adanya institusi di Ditjen Hubla yang mengurus perselesihan hubungan industrial antara pelaut dengan pihak perusahaan. Sebab yang ada institusinya hanya berada di Kemenaker dan biasanya dapat menyelesaikan setiap kasus yang ada walaupun tidak optimal.

Sebab itu bagi Pergerakan Pelaut Indonesia (PPI), agar tidak terus menerus melanggar norma hukum yang lebih tinggi dengan perundang-undangan yang berlaku ketimbang menggunakan Permenhub. Sehingga sebagai jalan tengah yang baik karena masing-masing birokrat lebih menonjolkan ego sektoralnya. PPI meminta Komisi IX DPR untuk mengapeal Pemerintah agar perusahaan pengirim TKI Pelaut ke luar negeri sebaiknya memiliki SIPPTKIS dari Kemenaker dan SIUPPAK dari Kemenhub.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun