Lembab baju si renta siang itu, baginya dah mati rasa entah ini musim apa
Legam kulitnya mnyimpan cerita yang orang lain tak tertarik membacanya
Sepanjang helaan nafas, sepanjang itu juga menyeret kakinya,
entah mana tangan entah mana kaki, telah beralih fungsi.
Deru sepatu menapak, kenalpot angkot reot, truk-truk bauksit,
Hanya sepintas lalu meliriknya, itupun tak sengaja
Aduhai nasib merenta, kau meronta menelan pahit deretan asa…
Dibiar telantar oleh keluarga, kau terdampar di samudra dunia
Kala malam berselimut gelap
Kala pagi tak hiraukan mau mati lampu kah? Hidup listrik kah?
Dikau terpental, hingga lupa cara tawa terpingkal-pingkal,
Engkau mengesot di aspal, hingga lupa nyeri sengal nan sengal
Dirimu terus berlalu, menghitung jarak ambigu,
“Omong kosong kisah pemimpin sejati”, katamu pada aspal yang kau susuri saban hari.
Telah lama bibirmu bungkam, hingga lupa cara berbicara,
hingga lupa bertutur tafakur tentang anggur subur dan rona rembulan,
renta sepekat malam gelap tanpa sepakat,
lusuh maha muram lebih remuk dari kertas rongsokan buram,
tanjungpinang, lembab diguyur hujan,
18/05/2014
puisi ini setakat pencitraan seorang tua yang mengemis di tepi rumah makan padang yang biasa tempat kumakan, tiap hari hampir dia ada, entah tak tau bagaimana dia bisa bertahan hidup hingga saat ini, kakinya tak lagi berfungsi, ia terus mengesot membawa dirinya, melewati SPBU bt. 6, disoroti ribuan mata yang enggan, kasihan bukan? aku tak tau bagaimana menolongnya, kecuali hanya setakat 3 ribu sisa belanja makanku siang ini....