Mohon tunggu...
Tb Adhi
Tb Adhi Mohon Tunggu... Jurnalis - Pencinta Damai
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Sich selbst zu lieben ist keine ritelkeit, sondern vernunft

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Revolusi Mental Pasca Tragedi Kanjuruhan

6 Oktober 2022   11:16 Diperbarui: 6 Oktober 2022   11:23 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tabur bunga di Stadion Kanjuruhan. (Foto: Dis'way) 

HARI-hari ini kita, masyarakat Indonesia, masih disesaki dengan pemberitaan memilukan terkait Tragedi Kanjuruhan. Tercatat sebanyak 131 orang yang meninggal pasca pertandingan sepak bola dalam lanjutan kompetisi BRI Liga 1 antara tuan rumah Arema Malang vs Persebaya Surabaya, di Stadion Kanjuruhan, Kepanjen, Kabupaten Malang, pada Sabtu (1/10/2022) malam itu. Jumlah korban jiwa kemungkinan masih akan bertambah mengingat masih banyaknya yang cedera dan dirawat di berbagai rumah sakit.

Kita sepakat dengan pernyataan pemerintah, sebagaimana yang disampaikan Presiden Joko Widodo, bahwa apa yang terjadi di Malang adalah tragedi kemanusiaan. Jumlah korban jiwa yang tewas adalah yang terbesar kedua sepanjang sejarah, dari ekses pertandingan sepak bola. Memuncaki korban tewas atau meninggal dalam seluruh pertandingan sepak bola di Tanah Air. Pemberitaan terkait Ferdy Sambo terlupakan. Indonesia bersatu dalam kedukaan.

Demikian juga dengan persepak bolaan internasional. Empati dan simpati datang dari seluruh penjuru dunia. Seluruh federasi sepak bola yang mewakili benua, anggota FIFA, menyampaikan duka, baik melalui pernyataan ketuanya atau secara institusi. UEFA, Federasi Sepak bola Eropa, pun demikian, meminta dilakukannya 'hening cipta' atau 'minute silence' menjelang kick-off dari rangkaian pertandingan Liga Champions dan Liga Eropa.

Pernyataan duka terus disampaikan kepala-kepala negara dan pemerintahan, termasuk Raja Charles II dari Inggris. Dari dalam negeri, hampir semua tokoh juga menyampaikan keprihatinannya. Komisi X DPR, yang antara lain membidangi olahraga, juga berencana membentuk panitia khusus (pansus) untuk menelaah tragedi tersebut. 

Komisi X prihatin karena korban-korban jiwa dari pertandingan sepak bola terus berjatuhan, tanpa ada upaya komprehensif dari PSSI untuk mengantisipasinya. Keprihatinan Komisi X memuncak dari Tragedi Kanjuruhan, mengingat sampai detik ini tidak ada pihak yang merasa bertanggung jawab. Ngeri. Komisi X DPR mengkhawatirkan kasus memilukan di Kanjuruhan bukan yang terakhir kalinya, jika kompetisi sepak bola di Indonesia terus seperti ini.

Kompetisi sepak bola di Indonesia sebenarnya konsideran dengan kenyataan bahwa Indonesia termasuk  negara  penyuka sepak bola terbesar di dunia.

Bahkan, Indonesia adalah pangsa pasar terbesar untuk sepak bola dunia. Dalam keadaan normal, Indonesia termasuk negara tujuan utama bagi timnas atau klub-klub besar Eropa. Indonesia menjadi salah satu negara dengan penonton sepak bola terbanyak. Data resmi AFC, Konfederasi Sepak bola Asia, menunjukkan, Indonesia masih mencatat rekor jumlah penonton terbesar atau terbanyak pada putaran-final Piala Asia 2007 ketika Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) Senayan dipadati hampir 90.000 penonton saat menghadapi Arab Saudi di penyisihan grup dan kemudian Korea Selatan di semifinal.

Itu dari data resmi AFC. Merujuk dari data PSSI, jumlah itu masih kalah jauh dibandingkan dengan penonton pada final kontes sepak bola SEA Games 1987 di SUGBK antara Indonesia vs Malaysia. SUGBK seakan bergoyang karena disesaki sekitar 120.000 penonton, yang akhirnya terpuaskan dengan kemenangan 1-0 Tim Merah Putih melalui gol tunggal Ribut Waidi.

Penonton juga membludak pada final sepak bola SEA Games 1997 juga di SUGBK, di mana Timnas Indonesia menyerah 2-4 pada Thailand melalui adu eksekusi pinalti. Tidak terjadi apa-apa. Penonton meninggalkan SUGBK dengan  jiwa besar. Itu sekadar contoh saja, bahwa Indonesia adalah negara dengan penonton sepak bola terbesar, khususnya untuk mendukung perjuangan tim nasional.

Dukungan pada timnas diberikan tanpa pamrih, tanpa sekat-sekat. Menonton timnas tanpa katarsis, berbeda dengan saat datang ke stadion untuk menyaksikan klub kesayangan berlaga.  

Pasca Tragedi Kanjuruhan, para pencinta sepak bola di hampir seluruh penjuru negeri melampiaskan simpati, empati, duka dan kesedihannya dengan berbagai cara. Kelompok-kelompok suporter bersatu. Semua berharap, semoga tidak ada korban jiwa lagi dalam pertandingan sepak bola. Satu nyawa terlalu berharga untuk sepak bola.

Tragedi Kanjuruhan menjadi momentum terbaik untuk adanya perubahan menyeluruh dari pertandingan sepak bola. Itu juga yang diharapkan oleh pemerintah. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) sudah dibentuk dan diberi waktu satu bulan untuk mencari akar penyebab kejadian dan melengkapi hasil pengusutan Polri dari tragedi itu. TGPF juga diharapkan dapat memberi rekomendasi terhadap pelaksanaan dan prosedur pengamanan pertandingan yang lebih baik.

Presiden Jokowi bahkan memberi tugas tambahan TGPF itu, selain meminta pengusutan tuntas, juga dilakukannya audit menyeluruh terhadap stadion-stadion tempat pertandingan kompetisi Liga I.

Dari ekses Tragedi Kanjuruhan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga telah mencopot Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat, di samping 9 komandan Brigade Mobil Polda Jawa Timur yang ikut dicopot plus 28 anggota menjalani pemeriksaan kode etik, khususnya mereka yang melontarkan gas air mata ke arah tribun penonton.

Di luar apa yang dilakukan Kapolri Listyo Sigit Prabowo, belum ada pihak lain yang dicopot meski telah diminta mundur, termasuk Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan dan Dirut Liga Indonesia Baru (LIB) yang bertanggung jawab atas kepastian jadwal pertandingan, Hadian Lukita.

Jika Tragedi Kanjuruhan menjadi momentum terbaik untuk adanya perbaikan dalam sepak bola Indonesia, terutama dalam jalannnya kompetisi, kita memerlukan sebuah revolusi mental.

Revolusi mental sudah banyak disebut oleh Jokowi, pun jauh sebelum Tragedi Kanjuruhan. Kita berharap akan adanya perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Perubahan baik dalam hal cara berpikir maupun dalam berperilaku. Sudah sangat banyak mental orang Indonesia yang sudah maju, namun ada pula yang masih terperosok dalam jurang kegelapan, termasuk yang menjadikan pertandingan sepak bola sebagai katarsis.

Revolusi mental dalam konteks ini adalah perubahan cara berpikir dalam waktu singkat untuk merespon dan bertindak, sejatinya dengan memandang sepak bola sebagai salah satu kebutuhan yang menyenangkan. Bukan kebutuhan untuk sekadar memperoleh pemasukan.

Revolusi mental ini tak hanya berlaku untuk suporter Indonesia, penonton fanatik di klub-klub itu, akan tetapi juga PSSI dan seluruh elemen terkait, termasuk jajaran panitia pelaksana pertandingan di setiap klub...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun