Sebagai mahasiswa, kegiatan lapangan selalu menjadi momen yang dinanti. Kali ini, saya dan teman-teman satu kelas mendapat kesempatan langka dari mata kuliah Peradaban Islam yaitu untuk melakukan ziarah ke maqom Syekh Jumadil Kubro di Bukit Turgo. Perjalanan ini bukan sekadar wisata religi, tetapi juga menjadi ajang mempererat kebersamaan, menambah wawasan sejarah, dan yang terpenting menguji fisik dengan menaklukkan 1743 anak tangga menuju puncak.
Sebelum hari H, tepatnya saat pertemuan terakhir mata kuliah, kami melakukan diskusi terkait teknis keberangkatan serta peralatan yang perlu dibawa, seperti air minum, obat-obatan dan makanan ringan. Semangat kami semakin membara setelah mengetahui pengalaman perjalanan dari kelas sebelah.
Syekh Jumadil Kubro dikenal sebagai salah satu tokoh penyebar Islam di tanah Jawa. Maqomnya di Bukit Turgo menjadi tujuan ziarah banyak orang, terutama pada hari-hari tertentu. Bukit Turgo sendiri terletak di tempat yang menawarkan pemandangan alam Gunung Merapi yang menakjubkan dan udara sejuk.
Kami berangkat berbeda dengan kebanyakan rombongan ziarah yang menggunnakan bus, kami tentunya lebih memilih menggunakan motor dan berkonvoi dari kampus menuju Bukit Turgo. Dengan seperti itu, membuat perjalanan terasa lebih seru dan penuh tantangan. Konvoi motor ini tidak hanya mennguji kekompakan, tetapi juga meningkatkan rasa tanggung jawab antar teman. Kami saling menjaga jarak, memastikan tidak ada yang tertinggal, dan berkomunikasi melalui isyarat tangan.
Sepanjang perjalanan, kami melewati jalanan Jogja, menyusuri pedesaan, hingga akhirnya memasuki kawasan Gunung Merapi yang sejuk. Konvoi ini menjadi pengalaman tersendiri yang menambah kesan mendalam pada perjalanan ziarah kali inni.
Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam dengan motor, kami tiba di area parkir Bukit Turgo. Di sini, kami kumpul sejenak untuk beristirahat dan memastikan bahwa anggota kelas kami tiba dengan selamat. Setelah beristirahat dan mempersiapkan perlengkapan, perjalanan sesungguhnya baru dimulai, yaitu mendaki 1743 anak tangga menuju maqom Syekh Jumadil Kubro.
Langkah demi langkah kami tapaki dengan semangat. Awalnya, perjalanan terasa ringan karena masih penuh energi dan antusiasme. Namun, setelah melewati ratusan anak tangga, napas mulai tersengal, kaki terasa berat, dan keringat membasahi tubuh. Beberapa teman saling menyemangati, ada yang berbagi air minum, bahkan ada yang bercanda untuk mengurangi rasa lelah.
Pemandangan di sepanjang jalur pendakian sangat indah. Pepohonan rindang dan suara burung menjadi teman perjalanan. Sesekali kami berhenti untuk beristirahat, menikmati udara segar. Tak jarang bertemu dengan beberapa rombongan, saling menyapa bahkan berkenalan dan bercerita satu sama lain. Semangat semakin membara disini, karena satu sma lain saling menyemangati dengan sesekali bertanya kepada pengunjung yang sudah mulai turun, “Pak ini masih jauh gaa?” kata yang sering kami lontarkan kepada pengunjung lainnya.
Akhirnya, setelah perjuangan panjang, kami tiba di maqom Syekh Jumadil Kubro. Sesampainya disana, kami langsung terdampar kehabisan tenaga dengan kondisi wajah yang sangat merah. Karena banyak yang masih di belakang, jadi kami yang duluan bisa langsung istirahat sambil menunggu yang lain datang. Rasa lelah langsung terbayar dengan suasana tenang dan khusyuk di sekitar maqom. Setelah itu kami mengambil air wudhu, tempat wudhunya terbuka dan airnya sangat dingin, cocok dengan keadaan yang sedang panas. Setelah semuanya datang dan selesai sholat, kami berdoa bersama, memohon keberkahan, serta merenungkan perjalanan hidup masing-masing. Semua merasa terharu karena telah berhasil sampai di puncak serta merasakan kedamaian spiritual yang mendalam.
Ziarah ke maqom Syekh Jumadil Kubro bukan hanya soal perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin. Kami belajar tentang arti perjuangan, kebersamaan, dan pentingnya menjaga niat dalam setiap langkah. Menaklukkan 1743 anak tangga menjadi simbol bahwa hidup penuh tantangan, nemun dengan tekad dan dukungan sesama, semua tantangan bisa dilalui.
Selain itu, kami juga mendapat pelajaran berharga tentang toleransi dan saling menghargai. Seperti dalam perjalanan kami yang bertemu dengan peziarah lain dari berlatar belakang berbeda, lalu saat sampai menunggu giliran dari peziarah yang masih berdoa.
Setelah selesai berdoa, semua fokus dengan agenda masing-masing. Ada yang mengabadikan momen di puncak, ada yang menikmati suasana dan pemandangan disana, dan ada pula yang hanya duduk santai. Setelah beristirahat dan menikmati suasana, kami turun kembali dengan hati yang lebih ringan. Meski menuruni tangga juga membutuhkan kehati-hatian, perjalanan pulang terasa lebih mudah karena semangat kebersamaan yang sudah terbangun.
Ziarah ke maqom Syekh Jumadil Kubro di Bukit Turgo bukan hanya sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual dan sosial. Menaklukkan 1743 anak tangga bersama satu kelas menjadi pengalaman yang memperkaya jiwa dan mempererat persaudaraan. Kami pulang dengan hati yang penuh syukur, pikiran yang lebih terbuka, dan semangat baru untuk menghadapi tantangan di masa depan.
Perjalanan ini mengajarkan bahwa setiap langkah, sekecil apapun, memiliki makna jika dilakukan dengan niat yang baik dan bersama orang-orang yang mendukung. Semoga pengalaman ini bisa menginspirasi untuk tidak ragu mencoba hal baru, menjelajahi sejarah, dan memperkuat tali persaudaraan di tengah kehidupan yang tak lepas dari keberagaman.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI