Mudik adalah momen yang dinanti-nantikan oleh para perantau, terutama mereka yang telah lama meninggalkan kampung halaman untuk bekerja, menuntut ilmu, atau mengejar impian di kota-kota besar. Bagi banyak orang, mudik menjadi waktuu yang istimewa untuk kembali ke akar kehidupan mereka, bertemu dengan keluarga tercinta, melepas rindu dengan orang tua, saudara, dan teman-teman lama, serta menikmati suasana kampung halaman yang penuh kehangatan dan nostalgia.
Saat hendak mudik, persiapan finansial dan logistik sering kali menjadi hal yang harus dipikirkan oleh para perantau sebelum memutusknan pulang kampung. Namun, menyiapkannya dengan senang hati dan penuh semangat karena akan segera mendapat pelukan hangat dan senyuman keluarga saat menyambut kepulangan saudaranya, ada kebahagiaan sederhana namun mendalam yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Tasikmalaya, kota kecil yang dikenal sebagai “Kota Santri”, selalu menawarkan kehangatan rumah. Setiap sudutnya menyimpan kenangan masa kecil, aroma masakan ibu, dan canda tawa keluarga. Namun, sebagai mahasiswa di Yogyakarta, saya harus kembali menapaki rutinitas, mengejar mimpi, dan menata masa depan. Di sinilah kereta api menjadi jembatan antara dua dunia: rumah dan perantauan.
Saya memilih kereta api sebagai moda transportasi utama. Perjalanan dengan kereta api menawarkan pengalaman yang tak tergantikan. Perjalanan dimulai dari stasiun Tasikmalaya pada siang hari, suasana stasiun dipenuhi para perantau yang siap kembali ke rutinitas. Saya memilih kereta api Lodaya, yang menawarkan jendela kaca besar sehingga penumpang bisa menikmati pemandangan sepanjang perjalanan secara maksimal. Melihat hamparan sawah hijau, perbukitan, dan desa-desa kecil yang dilewati, saya merasa seperti diajak berdialog dengan alam. Setiap detik di atas rel adalah waktu untuk merenung, mengurai rindu, dan menata harapan baru.
Ada momen-momen hening ketika kereta melaju kencang, suara roda besi berpadu dengan lamunan. Saya teringat pesan orang tua, harapan mereka agar sukses di tanah rantau. Di atas kereta, saya tak lepas belajar menerima kenyataan bahwa hidup adalah tentang perjalanan, bukan sekedar tujuan. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, dan setiap perpisahan menyimpan pelajaran berharga.
Perjalanan Tasikmalaya-Yogyakarta bukan hanya soal jarak 268 kilometer yang ditempuh dalam beberapa jam. Lebih dari itu, perjalanan ini adalah proses pendewasaan. Saya belajar menata semangat, mengelola rindu, serta menyiapkan diri menghadapi tantangan baru. Setiap stasiun yang dilewati seolah mengingatkan bahwa hidup terus berjalan, dan kita harus terus melangkah.
Perjalanan yang ditemani playlist musik membuat suasana semakin hangat. Setiap bait lagu yang terdengar mengalun di telinga seolah menjadi soundtrack pribadi, mengiringi setiap detik perjalanan dari Tasikmalaya menuju kota istimewa Yogyakarta. Dengan mendengar alunan musik, mampu membangkitkan rasa ketenangan, menenangkan hati yang mulai rindu rumah, tetapi juga membangkitkan semangat untuk menatap hari-hari baru di tanah jogja. Dentuman musik pop lokal membuat perjalanan terasa dekat dan lebih singkat serta menyenangkan. Dengan musik, setiap pemandangan di luar jendela terasa bahwa hidup selama perjalanan lebih bermakna.
Mengabadikan momen selama perjalanan menjadi salah satu cara terbaik untuk menyimpann kenangan indah yang mungkin tak akan terulang. Saya selalu menyempatkan diri mengambil foto pemandangan sawah hijau, pegunungan, dan langit senja sore yang terlihat dari balik jendela kereta. Setiap foto itu menjadi pengingat betapa berharganya setiap detik perjalanan. Saat rindu kampung halaman atau lelah menghadapi kenyataan, saya bisa kembali melihat dokumentasi dan merasalan semangat baru.