Mungkin tak ada penyair/penulis puisi bahkan novel, yang melewatkan hujan dan senja. Chairil, Tardji, Jokpin, Rendra atau Sapardi.Â
Selalu ada impresi dan kisah, atau sepotong kisah tentang hujan dan senja. Dan memang, hujan dan senja selalu menarik perhatian.
Orang yang awam dengan dunia kreatif (juga saintis) Â agaknya tetap berkesan dengan hujan dan senja. Selalu berkesan. Masing masing kita punya catatan berbeda tentang keduanya.
Mungkin, hujan dan senja membawa kenangan masa kecil dan bayangan tertentu. Bayangan yang hinggap di pelupuk jiwa.
Bila hujan bisa melambangkan keriangan dan kegembiraan, maka senja selalu melambangkan kesenduan dan kepasrahan, atau sesuatu yang akan hilang dalam sekejap.
Dalam Jagokata, Fiersa B menyebut bahwa "Beberapa penyair sibuk bersembunyi di balik senja, hujan, gemintang, ufuk, gunung, pantai, jingga, lembayung, kopi, renjana, juga berbagai kata romantis lainnya, untuk kemudian lupa pada fakta bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja. Hingga akhirnya kata-kata hanyalah hiasan semata."
Pada perspektif ini, hujan dan senja adalah romantisme sendiri dalam pikiran si penyair. Walau tentu, menjadikan keduanya sebagai " hiasan  belaka adalah tidak ideal.
Tapi, bisa saja, hujan dan senja justeru mengobati rasa bersalah penyair/penulis dalam penyelesaian problem sosial di tengah  masyarakatnya.Â
Maka dengan hujan dan senja akhirnya ia dapatkan sesuatu yang baru tentang jawaban lain dari pencarian eksistensinya.