Seingatku Rendra wafat sepuluhan tahun yang lalu, 6 Agustus 2009.
Mulai kukenal sejak sekolah dulu,
tahun 94-96, terus ke tahun 2000an, menyimak dan belajar dari gairah pengungkapan dan visi besarnya: penyair tidak boleh mengulas anggur dan rembulan saja. Mesti membaca gejala, mengubah dan memberi daya.
Mungkin ia tidak mewariskan apapun, penyair lainpun mungkin begitu. Tapi ia telah mewarnai  sayap kebudayaan kita agar kuat, berani dan menjadi mercusuar. Bila tidak, kita akan selalu tertindas dan terus mengekor.
Lihatlah pendidikan kita, katanya, pelajaran Ekonomi tidak menjadikan prooduktif dan hemat. Tetapi konsumtif dan kaku sebagai SDM siap pakai.
Dan cintanya pada kata kata telah menjadi daya bagi orang orang sesudahnya. Walau akan sulit melampaui beliau.Â
Sebab cinta dan kata katanya bukanlah murahan, bahkan pada kaum pinggiran, wanita wanita yang terjebak lumpur kehidupan. Semua menjadi kekasihnya.
 Tentu semua yang mengenalnya akan tersengat Daya dari gairah bahasa, wawasan dan keberaniannya.
Dengan posisi seperti itu ia tetap memandang mulia pekerjaannya, Sebab baginya menulis adalah perjuangan. Dia pernah diintrogasi tentara, dicekal . Â Pun demikian sekali tampil di panggung dalam sesi baca puisi khasnya, ia pernah dibayar seharga 25 juta, harga yang mahal di era 80an akhir.
Menulis puisi dengan kompensasi sebuah rumah, adalah lumrah. Karena yang dia lakukan pekerjaan besar. Berkarya dengan kata adalah pekerjaan besar yang disiapkan penuh daya. Daya itu diperlukan karena penyair tidak boleh lepas dari masalah (denyut) kehidupan sosial.