Era kecerdasan buatan (AI) bukanlah produk yang baru sebenarnya, tetapi dalam perkembangannya di abad 21 AI telah menghantam gelombang inovasi dan transformasi dari berbagai aspek kehidupan. Mulai dari asisten virtual dalam genggaman sampai algoritma yang sangat kompleks mampu menganalisis data, AI menawarkan efisiensi, kemudahan, dan potensi yang luar biasa. Namun kemajuan teknologi ini, menjadi sebuah pertanyaan besar dalam benak kita: apakah ketergantungan kita yang semakin besar pada AI justru mengikis kecerdasan alami manusia (brain rot)?
Fenomena ini bukanlah sekadar kekhawatiran utopis. Semua manusia dalam genggamannya mengoperasikan dan menyaksikan bagaimana AI mengambil alih tugas-tugas kognitif tanpa melibatkan perangkat aktif otak manusia. Bahkan sejumlah fakta dari generasi Z, dan alpha tidak memiliki kemampuan menghafal/ memories hitungan perkalian dasar. Karena kalkulator di smartphone menghilangkan kebutuhan untuk menghitung manual. Aplikasi navigasi menuntun kita tanpa perlu mengandalkan kemampuan orientasi spasial. Mesin pencari menyediakan jawaban instan atas hampir setiap pertanyaan, mengurangi dorongan untuk berpikir kritis dan mencari informasi secara mendalam. Sehingga berdampak negatif terhadap potensi diri manusia yang telah diciptakan oleh Tuhan, karena potensi tersebut tidak lagi difungsikan secara maksimal dan pada akhirnya menjadi brain rot. Istilah ini mungkin cukup asing bagi sebagian kalangan, tetapi fakta demikian.
Brain rot atau dikenal sebagai "pembusukan otak". Brain rot sebuah kondisi dimana kemampuan kognitif, daya analisis, akses memori, serta daya mengingat individu menjadi menurun karena kebiasaan menggunakan teknologi secara berlebihan.
Berikut ini beberapa dampak negatif dari ketegantungan yang berlebihan pada "kecerdasam digital" dengan berbagai aspek kecerdasan manusia:
- Menurunnya Kemampuan Kognitif Dasar, Otak manusia layaknya otot artinya membutuhkan latihan agar tetap dalam kondisi prima. Apabila manusia secara continu (terus-menerus) mengandalkan AI untuk mengerjakan tugas-tugas mendasar seperti mengingat informasi, menghitung, atau navigasi, kemampuan kognitif ini bisa menjadi tumpul. Kita mungkin menjadi kurang mahir dalam memecahkan masalah tanpa bantuan teknologi, kurang mampu berkonsentrasi dalam waktu lama, dan memiliki daya ingat yang melemah.
- Disrupsi Kemampuan berpikir kritis dan analitis, sebagaimana yang kita ketahui bahwa teknologi AI mampu menyajikan informasi yang sudah terkurasi dan tersaring. Sehingga dapat mengurangi kemampuan manusia dalam berpikir secara mandiri, mempertanyakan asumsi, dan menganalisis informasi dari berbagai sudut pandang. Kita mungkin menjadi lebih rentan terhadap misinformasi dan kurang mampu membentuk opini yang berdasarkan pada pemikiran yang mendalam.
- Minimnya Ide Kreativitas dan Inovasi: Kecerdasan manusia tidak hanya tentang memproses informasi, tetapi juga tentang menciptakan ide-ide baru dan solusi inovatif. Jika kita terlalu bergantung pada AI untuk menghasilkan ide atau memecahkan masalah, kita mungkin kehilangan kemampuan untuk berpikir "di luar kotak" dan mengembangkan solusi orisinal.
- Menyusutnya (degradasi) Â Keterampilan Sosial dan Emosional: Interaksi dengan AI, meskipun canggih, tidak dapat sepenuhnya menggantikan interaksi antarmanusia yang kaya akan nuansa emosi dan sosial. Ketergantungan pada komunikasi digital yang dimediasi oleh AI berpotensi mengurangi kemampuan kita untuk membaca bahasa tubuh, memahami emosi orang lain, dan membangun hubungan yang mendalam.
Pada prinsipnya teknologi adalah benda mati, semua bergantung bagaimana carra menggunakan dan memanfaatkan teknologi tersebut. Sehingga teknologi AI bukanlah entitas yang jahat dan sengaja dirancang untuk membuat manusia menjadi bodoh. Karena tujuan dari teknologi AI adalah untuk membantu dan meningkatkan kualitas hidup manusia. Akan tetapi seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa dampak dari teknologi AI sangat bergantung pada bagaimana kita menggunakannya. Jika kita memperlakukannya sebagai pengganti kemampuan kognitif kita, bukan sebagai alat bantu, maka risiko penurunan kecerdasan alami menjadi semakin nyata.
Lantas, bagaimana cara menavigasi teknologi era AI ini, dan tanpa mengorbankan potensi intelektual kita? tentu, jawabannya terletak pada "keseimbangan dan kesadaran". Keseimbangan dan kesadaran dalam melatih otak kita, berusaha memecahkan masalah secara mandiri, membaca buku dan artikel yang menantang, terlibat dalam diskusi yang mendalam, dan membatasi ketergantungan pasif pada teknologi untuk tugas-tugas kognitif sederhana. Selanjutnya peran penting pendidikan dalam memainkan peranan yang sangat krusial dalam membekali generasi muda di masa mendatang. Dengan dibekali kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan literasi digital yang kuat. Kita harus memposisikan AI secara efektif sebagai alat bantu, sambil tetap mengembangkan dan mempertahankan kemampuan kognitif inti kita.
Dan terakhir ditengah pesatnya kemajuan teknologi kecerdasan buatan, hal penting yang tidak boleh dilupakan adalah senantiasa memelihara dan mengembangkan kecerdasan alami, mejadikan teknologi AI sebagai mitra yang kuat dalam meningkatkan potensi diri. Meminjam istilah Prof Rheinald kasali, kita harus tetap menjadi pengemudi, bukan sekadar penumpang yang pasrah begitu saja. Manusia sebagai Driver terhadap teknologi, bukan sebaliknya manusia di driver (menjadi passangger)bagi teknologi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI