Dalam era digital yang serba cepat ini, pengembangan perangkat lunak dituntut untuk mampu merespons kebutuhan pasar dengan kecepatan tinggi tanpa mengorbankan kualitas produk. Metodologi seperti Agile Software Development (ASD) dan Rapid Software Development (RSD) muncul sebagai jawaban atas kebutuhan tersebut, menawarkan pendekatan yang fleksibel, iteratif, dan responsif. Namun, dalam praktiknya, pendekatan ini sering kali menimbulkan tantangan tersendiri, terutama dalam mengelola quality requirements (QRs) atau kebutuhan kualitas. Artikel "Management of quality requirements in agile and rapid software development: a systematic mapping study" oleh Woubshet Behutiye dan kolega menyajikan kontribusi penting dalam memahami dinamika dan tantangan yang terkait dengan manajemen QRs dalam konteks ASD dan RSD.
Kajian ini menggunakan pendekatan Systematic Mapping Study (SMS) untuk memetakan penelitian yang ada mengenai topik tersebut. Dengan menganalisis 156 studi primer melalui metode snowballing, penelitian ini menghasilkan wawasan yang luas dan mendalam tentang bagaimana kebutuhan kualitas dikelola, strategi yang digunakan, serta tantangan yang dihadapi oleh para praktisi dan peneliti. Pendekatan sistematis seperti ini penting untuk memberikan landasan yang kuat bagi pengembangan teori dan praktik yang lebih baik di masa depan.
Salah satu temuan utama dari studi ini adalah bahwa kebutuhan kualitas seperti keamanan (security) dan performa (performance) merupakan aspek yang paling banyak dibahas. Hal ini mencerminkan kekhawatiran umum dalam industri perangkat lunak terhadap dua dimensi kualitas yang krusial, yang dampaknya dapat langsung dirasakan oleh pengguna akhir. Namun, kebutuhan kualitas lainnya, seperti maintainability, usability, dan scalability, juga penting untuk dipertimbangkan agar perangkat lunak yang dihasilkan tidak hanya cepat selesai tetapi juga berkelanjutan dan mudah dikembangkan lebih lanjut.
Strategi untuk menangani QRs dalam konteks agile dan rapid development sangat beragam. Studi ini mengidentifikasi 74 praktik, 43 metode, 13 model, 12 framework, 11 saran, 10 tools, dan 7 panduan yang telah digunakan atau diusulkan dalam literatur. Ragam strategi ini menunjukkan bahwa belum ada satu pendekatan tunggal yang dapat dianggap sebagai solusi definitif. Keanekaragaman ini mencerminkan kompleksitas konteks pengembangan perangkat lunak yang berbeda-beda, di mana kebutuhan dan kendala masing-masing organisasi dapat mempengaruhi efektivitas strategi tertentu.
Meskipun banyak strategi yang diidentifikasi, studi ini juga menyoroti berbagai tantangan yang belum terselesaikan secara memadai. Di antaranya adalah keterbatasan metodologi agile dalam menangani QRs secara eksplisit, tekanan waktu akibat siklus iterasi yang singkat, serta kesulitan dalam melakukan pengujian terhadap kebutuhan kualitas yang bersifat non-fungsional. Selain itu, kebutuhan kualitas sering kali tidak mendapat perhatian yang memadai dari tim pengembang karena tidak langsung terlihat hasilnya dalam iterasi awal, yang biasanya fokus pada fungsionalitas inti.
Kurangnya perhatian terhadap QRs dalam praktik agile dan rapid development dapat berujung pada konsekuensi serius di masa depan, seperti meningkatnya biaya pemeliharaan, rendahnya kepuasan pengguna, hingga risiko keamanan yang tinggi. Oleh karena itu, penting bagi organisasi untuk menempatkan manajemen QRs sebagai prioritas strategis yang terintegrasi dalam seluruh siklus hidup pengembangan perangkat lunak, bukan sebagai beban tambahan atau pertimbangan sekunder.
Studi ini juga memberikan kontribusi penting dalam mengidentifikasi celah penelitian yang masih terbuka. Misalnya, hanya sedikit strategi yang divalidasi secara empiris dalam konteks industri nyata. Selain itu, meskipun beberapa kebutuhan kualitas telah banyak dibahas, masih ada aspek-aspek lain yang kurang mendapat perhatian, seperti sustainability dan transparency. Hal ini menunjukkan perlunya fokus penelitian yang lebih luas dan mendalam terhadap kebutuhan kualitas yang mencerminkan nilai-nilai jangka panjang dan tanggung jawab sosial dari pengembangan perangkat lunak.
Salah satu kekuatan utama dari artikel ini adalah kemampuannya dalam menyajikan peta literatur yang komprehensif dan terstruktur dengan baik. Dengan memberikan klasifikasi yang jelas terhadap jenis strategi, metodologi studi, serta kualitas bukti empiris, pembaca dapat memperoleh gambaran yang jelas mengenai lanskap penelitian saat ini. Pendekatan ini tidak hanya bermanfaat bagi peneliti yang ingin mengembangkan studi lanjutan, tetapi juga bagi praktisi yang mencari referensi untuk meningkatkan praktik manajemen kualitas di organisasinya.
Namun demikian, studi ini juga memiliki keterbatasan. Fokus yang masih dominan pada konteks ASD dibandingkan RSD menunjukkan bahwa pemahaman tentang pengelolaan QRs dalam pengembangan perangkat lunak yang sangat cepat (seperti hackathon, prototyping ekstrem, dan MVP development) masih minim. Padahal, pendekatan RSD semakin populer dalam ekosistem startup dan proyek inovasi. Oleh karena itu, eksplorasi lebih lanjut dalam konteks ini akan menjadi langkah penting untuk memperkaya pemahaman dan memperluas cakupan solusi yang relevan.
Selain itu, sebagian besar strategi yang ditemukan masih bersifat konseptual atau belum diuji secara menyeluruh dalam skala besar. Keterbatasan ini mengisyaratkan perlunya kolaborasi yang lebih erat antara dunia akademik dan industri untuk mengembangkan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi pendekatan-pendekatan yang menjanjikan. Validasi empiris yang kuat akan memberikan keyakinan lebih kepada para pengembang dan manajer proyek dalam mengadopsi strategi-strategi baru untuk mengelola kebutuhan kualitas.
***