"Setelah kita sudah susah-susah tahu kalau minat baca kita cuma 0,001%, kenapa malah buku-buku serius yang jadi target penyitaan aparat?"
Sejak warung soto Mbak Yanti berhenti menyajikan soto di hari Minggu, kabar-kabar buruk dari pusat kota sudah tidak terlalu membuat hati saya rontok. Mungkin, ini adalah efek samping dari tinggal terlalu lama di negeri yang punya hobi unik: meng-upgrade penderitaan secara berkala, seolah hidup biasa-biasa saja itu membosankan.
Terakhir, panggung politik kita kembali dihibur (atau lebih tepatnya di-ghosting) oleh drama lama yang nggak lucu-lucu amat. Apalagi kalau bukan soal penyitaan buku pasca gelombang demonstrasi kemarin. Di tengah segala ketidakberesan urusan ekonomi, hukum, dan lingkungan, negara malah sibuk mengurus ide yang tersimpan rapi di rak-rak buku.
Tindakan ini sungguh memantik joke gelap. Gimana nggak. Di satu sisi, kita tahu persis bahwa bangsa ini sedang sakit parah dalam urusan nalar kritis. Di sisi lain, ketika ada sekelompok kecil masyarakat yang masih mau repot-repot berpikir serius sampai membaca buku tebal, eh malah dikasih stempel "ancaman" dan berujung sita menyita.
Lho, bukankah kita semua sepakat bahwa cita-cita fundamental negara ini adalah Mencerdaskan Kehidupan Bangsa?
Jika upaya mencerdaskan justru dibalas dengan intimidasi terhadap medium kecerdasan itu sendiri, maka kita sedang menyaksikan sebuah sabotase diri yang elegan.
Indonesia Itu Darurat Intelektual, Bukan Darurat Keamanan
Kita harus memulai dari fakta yang paling pahit. Indonesia ini bukan hanya sedang terjerumus dalam masalah politik yang nggak kunjung beres. Kita juga sedang menghadapi Darurat Intelektual yang sifatnya struktural.
Mengacu pada data yang dihimpun oleh Kementerian Komunikasi dan Digital Republik Indonesia (Komdigi) dari UNESCO, minat baca masyarakat kita tuh sangat memprihatinkan. Angkanya disebut hanya sekitar 0,001%.
Coba dibayangkan. Dari 1.000 orang Indonesia, cuma satu yang rajin membaca. Dan satu orang itu, lho, harus menanggung beban moral untuk menopang sisa 999 orang yang lebih memilih scrolling media sosial, sehingga gampang sekali terpapar hoaks dan terpolarisasi.
Situasi ini diperkuat oleh temuan pemerintah sendiri. Dikutip dari dokumen yang disajikan di DPR, Indeks Alibaca Nasional menunjukkan bahwa mayoritas provinsi di Indonesia berada pada level aktivitas literasi rendah atau sedang. Tidak ada satu pun yang mencapai kategori tinggi.