Mari kita bicara soal alat, atau lebih tepatnya rantis yang dipakai. Rantis Brimob yang diduga melindas driver ojol adalah jenis Rantis Rimueng atau DAPC-1. Kendaraan ini bukan main-main. Beratnya? Dilansir dari Suara.com, bobotnya bisa mencapai 4,8 ton, bahkan ada yang menyebut sampai 14 ton. Ini bukan mobil kaleng kerupuk.
Mengacu laporan IDN Times, kendaraan ini punya lapisan baja penuh. Jendelanya pun terbuat dari kaca balistik yang sanggup menahan tembakan senjata ringan. Singkatnya, rantis ini adalah benteng berjalan.
Sekarang, coba kita putar balik logikanya. Sebuah benteng berjalan yang kebal peluru, kebal batu, dan kebal dari serangan apa pun, tiba-tiba merasa panik dan terancam oleh massa yang mungkin hanya berbekal kayu dan teriakan. Ini seperti Superman yang takut pada tawon. Tidak masuk akal.
Klaim terancam oleh massa, jika dilihat dari spesifikasi rantis yang luar biasa, tidak lagi bisa diterima sebagai alasan yang valid. Bahkan, secara ironis, ketangguhan kendaraan ini justru menjadi bumerang bagi pengakuan sopir.
Momen Diam yang Bicara Seribu Bahasa
Dalam video yang beredar, ada satu adegan krusial yang sering luput dari perhatian kita. Setelah menabrak driver ojol, rantis itu sempat berhenti. Tidak melaju terus. Ia berhenti sejenak.
Momen berhenti itu adalah jendela kesempatan. Kesempatan untuk mengevaluasi, untuk melihat, bahkan untuk memberikan pertolongan. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Setelah berhenti, rantis itu kembali melaju dan melindas korban yang saat itu terbaring tepat di depan roda rantis. Dari momen diam yang singkat itu, muncul pertanyaan besar di kepala kita.
Kenapa berhenti? Apakah mereka menyadari apa yang baru saja terjadi? Dan jika ya, kenapa mereka melaju kembali yang jelas akan melindas korban? Momen diam itu, yang tak butuh banyak kata, justru bicara paling lantang.
Urusan Nyawa dan Perkara Psikologi Aparat
Jika klaim panik tidak masuk akal, dan fakta di lapangan berkata sebaliknya, lalu apa yang sebenarnya terjadi? Semua bukti mengarah pada satu kesimpulan. Ada unsur kesengajaan dalam peristiwa ini.
Bukan soal panik atau ketakutan yang tidak beralasan. Ini soal mentalitas. Soal psikologi anggota aparat yang merasa mereka punya hak istimewa, yang merasa kebal dari konsekuensi.
Ada kemungkinan mereka merasa frustrasi, marah, atau merasa ditantang oleh massa. Emosi ini, ketika dibungkus dengan baju seragam dan kendaraan taktis, bisa menjadi sangat berbahaya. Arogansi kekuasaan, mungkin itu nama penyakitnya.
Kendaraan yang sangat kuat ternyata ditempati oleh orang-orang yang rapuh mentalnya. Ini adalah ironi terbesar. Bahwa yang menjadi persoalan mendasar dari tragedi ini bukanlah kendaraan atau kerusuhan di jalanan. Melainkan urusan psikologis anggota Brimob yang berada di dalam benteng berjalan itu.