"Sudahkah kita sadar bahwa literasi digital yang minim dapat membuat kita rentan di era budaya digital ini?"
Tanyakan pada diri sendiri, berapa lama waktu yang dihabiskan dalam sehari dengan menatap layar handphone? Dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, tak ada jeda. Semua kegiatan, mulai dari pesan makanan, bayar tagihan, belanja bulanan, sampai baca artikel ini, semuanya ada dalam genggaman. Sampai-sampai, dompet yang tadinya tebal sekarang malah tipis. Bukan karena bokek, tapi karena isinya sudah pindah semua ke dompet digital.
Fenomena ini bukan lagi sekadar kebiasaan, tapi sudah jadi budaya digital. Sebuah tatanan kehidupan baru yang memengaruhi cara kita berpikir, berinteraksi, dan berperilaku. Suka tidak suka, kita semua sudah jadi bagian dari revolusi digital ini. Tapi, apa iya kita sudah benar-benar siap?
Baca juga:Â Dompet Tipis Bukan Karena Bokek, Tapi Karena Semuanya Pindah ke HP
Merekam Jejak Transformasi Digital Di Mana Saat Hidup Semudah Satu Klik
Kalau kata orang-orang dulu, "Dunia ada dalam genggaman." Rupanya, peribahasa itu benar-benar jadi kenyataan. Dunia, dengan segala isinya, kini bisa diakses hanya lewat jari. Ini adalah hasil dari transformasi digital yang membuat segalanya serba instan.
Mengacu pada artikel Kompas, budaya digital didefinisikan sebagai hasil dari pemikiran dan kreasi manusia berbasis teknologi internet yang telah menjadi tatanan kehidupan baru dalam masyarakat. Perubahan ini mengubah interaksi, perilaku, dan komunikasi kita secara masif. Contoh paling dekat ya, dari WFH (Work From Home) sampai belanja online yang sekarang jadi kebiasaan. Kita jadi lebih sering berkomunikasi lewat aplikasi pesan instan daripada bertemu langsung.
Perkembangan ini memang luar biasa, tapi di balik kemudahan itu ada pertanyaan besar. Apa kita punya kecakapan yang cukup untuk berlayar di samudra digital yang luas ini?
Baca juga:Â Adab Itu Algoritma, Bukan Sekadar Etika Lama
Kecakapan dan Kerapuhan Jadi Dilema Literasi Digital
Kemenkomdigi meluncurkan survei Status Literasi Digital Indonesia. Hasilnya, skor kita naik sedikit, tapi masih di level 'sedang'. Itu artinya, kita belum sepenuhnya cakap.
Ada empat pilar utama literasi digital yang diukur, yaitu kecakapan digital, etika digital, budaya digital, dan keamanan digital. Lucunya, meskipun skor pilar budaya digital kita yang paling tinggi, pilar keamanan digital justru paling rendah. Ini semacam paradoks, kan? Kita asyik berinteraksi dan berkreasi di dunia digital, tapi pada saat yang sama, kita sangat rentan jadi korban hoaks, penipuan online, atau peretasan.