"Di tengah malam yang penuh bahaya, Zura si pemburu menghadapi lebih dari sekadar perjuangan bertahan hidup—ia dihadapkan pada pilihan yang bisa mengubahnya selamanya."
Malam membentang, sunyi, hanya suara jangkrik yang menggantung di udara. Di antara kegelapan, Zura mengepakkan sayapnya, mengambang dalam cahaya redup lampu teras. Ia bukan sekadar nyamuk. Ia adalah pemburu—dan malam ini, perutnya harus terisi.
Di bawahnya, Pak Bambang duduk bersandar, menyeruput kopi yang mengepul. Aroma manis bercampur pahit memenuhi udara. Namun bukan itu yang menarik Zura. Ia mencium jejak yang lebih kuat—karbon dioksida yang hangat, pelepasan tubuh manusia yang memanggilnya.
Zura meluncur.
Udara di sekelilingnya bergetar oleh detak jantungnya sendiri. Ia mendekat, kaki-kaki mungilnya hampir menyentuh kulit Pak Bambang. Sekali tusuk, ia bisa menghisap darah yang kaya zat besi, cukup untuk memberi kehidupan pada telur-telurnya.
TAP!
Sebuah kibasan mendadak merobek udara. Zura memutar tubuhnya cepat, menghindari angin yang ditimbulkan oleh tangan manusia itu. Ia naik, lalu mundur ke balik bayangan. Hampir saja.
Pak Bambang menggerutu, menggaruk lengannya. Ia menyesap kopinya lagi, lebih waspada.
Zura mengepak pelan. Percobaan pertama gagal. Tapi perburuan belum usai.
Dari dalam rumah, sebuah aroma lain menguar. Asam. Hangat. Keringat seorang anak kecil yang tertidur pulas.