"Terperangkap di jurang Gunung Slamet dengan nyawa di ujung tanduk, ia berjuang melawan kegelapan yang nyaris merenggutnya—hingga fajar membawa harapan terakhir."
Udara pagi terasa dingin saat Marcel, Arya, dan Reza menginjakkan kaki di jalur pendakian Gunung Slamet. Langit masih bersih, seakan memberi restu pada perjalanan mereka. Marcel berjalan paling depan, matanya berbinar penuh semangat.
"Kita pasti bisa sampai puncak sebelum malam," katanya yakin, meski Arya mengingatkan, "Jangan terlalu terburu-buru, cuaca bisa berubah sewaktu-waktu."
Perjalanan mereka awalnya lancar. Pepohonan rindang melindungi dari terik, suara dedaunan yang tertiup angin menciptakan simfoni alam yang menenangkan. Namun, saat siang menjelang, awan kelabu mulai bergulung di langit. Udara menjadi lebih dingin, dan angin bertiup lebih kencang. Reza menoleh ke belakang, ekspresinya ragu.
"Kita harusnya sudah dekat dengan pos berikutnya. Kalau hujan turun, sebaiknya kita berteduh dulu," ucapnya.
Langkah mereka semakin berat saat kabut turun, menyelimuti jalur setapak dengan ketebalan yang mencekam. Marcel, yang biasanya percaya diri, mulai merasakan kegelisahan merayapi dadanya. Suasana berubah drastis—dari petualangan yang menyenangkan menjadi perjalanan yang menuntut kewaspadaan tinggi.
Satu langkah yang salah, dan segalanya bisa berakhir.
Tiba-tiba, tanah di bawah kaki Marcel terasa licin. Sebelum sempat memperingatkan yang lain, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Arya dan Reza hanya bisa menatap dengan ngeri saat Marcel tergelincir, tubuhnya meluncur ke arah tebing. Suara dedaunan yang robek dan batu yang berjatuhan menggema di telinga mereka.
Lalu, sunyi.
Arya dan Reza saling berpandangan, ketakutan menyelimuti mereka. "Marcel?!" panggil Arya dengan suara bergetar. Tidak ada jawaban.