Mohon tunggu...
Taufiq A. Gani
Taufiq A. Gani Mohon Tunggu... ASN di Perpusnas, Peneliti di Indonesia Digital And Cyber Institute (IDCI)

Pembelajar dalam menulis

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Artikel Utama

AI Masuk Perpustakaan, Bukan Lagi Mainan Pribadi

7 September 2025   07:40 Diperbarui: 7 September 2025   13:13 1778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di tengah rak buku klasik, generasi baru membawa cahaya digital. Perpustakaan kini berpadu dengan AI dalam genggaman. (AI  Generated/Freepik)

Banyak organisasi tergoda menjadikan AI sekadar “kosmetik”—misalnya menempelkan AI pada katalogisasi atau layanan referensi tanpa mengubah alur kerja. 

Padahal, perubahan yang sejati hanya terjadi jika AI dibingkai dalam kebijakan strategis, diturunkan ke SOP, lalu diterjemahkan dalam instruksi teknis sehari-hari.

Inilah yang saya coba lakukan di kantor. Dari keputusan berlangganan, penyusunan SOP monev, hingga instruksi teknis pustakawan, semua dirangkai agar AI benar-benar menyatu dalam denyut organisasi. Weske (2024) menyebut kesinambungan semacam ini sebagai inti dari Business Process Management.

AI sebagai Katalis Pengetahuan

Manfaat AI bagi perpustakaan sebenarnya bisa jauh lebih luas. Ia bisa membantu katalogisasi otomatis, menghasilkan kata kunci dan sinopsis koleksi baru, atau membuat rekomendasi bacaan yang lebih personal bagi pemustaka. Ia juga bisa membaca pola kunjungan dan tren pinjaman secara real time, lalu memberi masukan untuk pengembangan koleksi.

Gagasan ini sejalan dengan teori klasik. Russell Ackoff (1989) menggambarkan data, informasi, dan pengetahuan seperti anak tangga yang harus dilalui satu per satu. 

AI membuat langkah di tangga itu lebih cepat. Nonaka dan Takeuchi (2007) menekankan bahwa pengetahuan lahir dari pertemuan antara pengalaman pribadi (tacit) dan informasi tertulis (explicit). AI bisa menjembatani keduanya, sehingga proses belajar jadi lebih cepat menyatu.”

Dengan begitu, AI bukan sekadar perangkat tambahan, melainkan benar-benar katalis yang membuat pengetahuan lebih cepat terbentuk dan lebih mudah diakses.

Praktik serupa juga sudah terlihat di luar negeri. Misalnya, sejumlah perpustakaan nasional di Eropa sudah memanfaatkan AI dalam katalogisasi dan digitalisasi otomatis. 

Sementara itu, di Tiongkok, Tsinghua University Library mengembangkan chatbot dinamis bernama Xiaotu, yang dapat menyapa dan melayani pemustaka secara real-time. Ini menunjukkan bahwa adopsi AI bukan hanya wacana—melainkan sudah menjadi praktik nyata di dunia.

Sejak 2024 hingga 2025 saya juga menulis sejumlah artikel lain, antara lain “Mencerdaskan Perpustakaan” (Kumparan, 2024) dan “Perpustakaan Era AI Menyapa, 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun